Kamis, 12 Januari 2012

Biografi Sang Buddha

Lahirnya Pangeran Siddhattha

Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang sangat mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya mencapai umur +/- 45 tahun.

Ketika itu Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asalha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucapkan janji Uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.

Sewaktu tidur Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Manosilatala. Kemudian para istri Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasa dipakai para dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar,
mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.

Ratu memberitahukan impian ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti impian tersebut.

Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.

Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi itu dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.

Sepuluh bulan kemudian di bualan Vaisak Ratu mohon perkenan dari Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha.


Dalam perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki. Ketika itu tepat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M.

Empat Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala emas dan kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi segar.

Sang bayi sendiri sudah bersih karena tiada darah atau noda-noda lain yang melekat pada tubuhnya. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah Utara.

Setelah berjalan tujuh langkah bayi itu lalu mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

"Aggo 'ham asmi lokassa.
jettho 'ham asmi lokassa.
settho 'ham asmi lokassa.
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo."

Artinya :
"Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
akulah Tertua dalam dunia ini,
akulah Teragung dalam dunia ini,
inilah kelahiranku yang terakhir,
tak akan ada tumimbal lahir lagi."

Seorang pertapa bernama Asita (yang juga disebut Kaladevala) sewaktu bermeditasi di pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga Pertapa Asita berkunjung ke Istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.

Setelah melihat sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa ("orang besar") , Pertapa Asita memberi hormat kepada sang bayi yang kemudian diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat Asita tertawa gembira tetapi kemudian lalu menangis.

Menjawab pertanyaan Raja Suddhodana, Pertapa Asita menerangkan, bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia sendiri tidak lagi dapat menunggu sampai bayi itu kelak memulai memberikan Ajarannya.

Karena didesak oleh Raja Suddhodana yang tidak menginginkan anaknya menjadi Buddha, Selanjutnya Pertapa Asita mengatakan, bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu :
1. Orang tua
2. Orang sakit
3. Orang mati
4. Pertapa suci

Kalau Pangeran itu melihat empat peristiwa tersebut, maka Beliau segera akan meninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Buddha.

Pada hari yang sama lahir pula (timbul) dalam dunia ini:
1. Putri Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahulamata (ibu dari Rahula).
2. Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
3. Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha.
4. Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha.
5. Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu.
6. Seekor gajah istana.
7. Pohon Bodhi; di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung.
8. Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.

Lima hari setelah lahirnya sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya berkumpul, bersama-sama dengan 108 orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Di antara Para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondanna, Bhoja, Suyama dan Sudatta.

Para peramal tersebut, kecuali Kondanna, meramalkan bahwa sang bayi kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Hanya Kondanna (Brahmana yang termuda) sajalah yang dengan pasti mengatakan, bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Nama yang kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti "Tercapainya segala cita-citanya."

Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dan terlahir kembali di sorga Tusita.

Raja Suddhodana menyerahkan perawatan sang bayi kepada Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang juga dinikahinya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Masa Kanak-kanak hingga Dewasa Sang Buddha

Masa anak-anak

Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut pergi ke perayaan membajak. Raja sendiri turut membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah alat bajak yang terbuat dari emas.

Sewaktu perayaan berlangsung dengan meriah, dayang-dayang yang ditugaskan untuk menjaga pangeran merasa tertarik sekali dengan jalannya perayaan itu. Mereka ingin menyaksikan dan meninggalkan Pangeran kecil di bawah bayangan pohon jambu. Setelah kembali mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi dengan duduk bersila.

Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan diiringi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Benar saja mereka menemukan Pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya. Karena Pangeran pada saat itu telah mencapai Jhana, yaitu suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memanyungi Pangeran kecil yang sedang bermeditasi. Melihat keadaan yang ganjil ini untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.

Setelah Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanam berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Uppala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma) dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika). Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang waktu itu terkenal kerena menghasilkan barang-barang tersebut dengan mutu yang paling baik.

Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran dengan sebuah payung yang indah kemanapun Pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari keagungannya.

Setelah tiba waktunya untuk bersekolah, Raja memerintahkan seorang guru bernama Visvamitta untuk memberikan pelajaran kepada Pangeran dalam berbagai ilmu pengetahuan. Ternyata Pangeran cerdas sekali dan semua pelajaran yang diberikan dengan cepat dapat dipahami sehingga dalam waktu singkat tidak ada lagi hal-hal yang dapat diajarkan kepada Pangeran kecil.

Sejak kanak-kanak Pangeran terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup seperti terlihat dari kisah di bawah ini.

Pada suatu hari Pangeran sedang berjalan-jalan di taman dengan saudara sepupunya, Devadatta, yang pada waktu itu membawa busur dan anak panah. Devadatta melihat serombongan belibis hutan terbang di atas mereka. Dengan cekatan Devadatta membidikkan panahnya dan berhasil menembak jatuh seekor belibis. Pangeran dan Devadatta berlari-lari ke tempat belibis itu jatuh. Pangeran tiba lebih dahulu dan memeluk belibis itu yang ternyata masih hidup. Pangeran dengan hati-hati dan penuh kasih sayang mencabut panah dari sayap belibis tersebut, kemudian meremas-remas beberapa lembar daun hutan dan dipakaikan sebagai obat untuk menutupi luka bekas kena panah. Devadatta minta agar belibis tersebut diserahkan kepadanya karena ia yang menembaknya jatuh. Namun Pangeran tidak memberikannya dan mengatakan: “Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati maka ia benar adalah milikmu. Tetapi sekarang ia tidak mati dan ternyata masih hidup karena aku yang menolongnya, maka ia adalah milikku.” Devadatta tetap menuntutnya dan Pangeran tetap pada pendiriannya dan tidak mau menyerahkannya. Akhirnya atas usul Pangeran, mereka berdua pergi ke Dewan Para Bijaksana dan mohon agar Dewan memberikan putusan yang adil dalam persoalan tersebut. Setelah mendengarkan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari kedua belah pihak, Dewan lalu memberikan keputusan sebagai berikut :

“Hidup itu adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menurut norma-norma keadilan yang berlaku, maka secara sah belibis harus menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkan jiwanya, yaitu Pangeran Siddhattha.”

Masa Remaja

Sewaktu Pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Ramma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan (Subha). Kemudian Raja mengirimkan undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, di mana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua tersebut ternyata tidak mengacuhkannya. Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak paham kesenian dan ilmu peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melindungi istrinya. 

Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran maka Pangeran mohon kepada Raja agar segera mengadakan suatu sayembara, di mana berbagai ilmu peperangan dipertandingkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain yang datang dari segenap penjuru negara Sakya bahkan juga pangeran-pangeran dari negara-negara lain.

Semua pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang dan memanah ternyata dimenangkan oleh Pangeran. Khusus dalam hal memanah Pangeran tidak ada tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh Pangeran saja mereka tidak mampu, karena busur itu besar dan berat, sehingga untuk membawanya ke tempat pertandingan harus digotong oleh empat orang.

Dengan mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.

Dalam sebuah pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh tidak kurang dari empat puluh ribu gadis cantik, pilihan Pangeran jatuh kepada seorang gadis bernama Yasodhara yang masih ada ikatan keluarga dengan Pangeran karena ia adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari negara Devadaha dan bibinya Ratu Amita (adik Raja Suddhodana).

Setelah Pangeran Siddhattha menikah dengan Putri Yasodhara, maka kekuatiran Raja Suddhodana agak berkurang, sebab Raja selalu ingat kepada ramalan dari Pertapa Asita bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha.

Dengan pernikahannya ini Raja berharap Pangeran akan lebih diikat kepada hal-hal duniawi. Sekarang tinggal menjaga supaya Pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang penghidupan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang pertapa suci.

Karena itu, Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga jangan sampai melihat empat hal tersebut. Kalau ada dayangnya yang sakit, maka dayang itu segera disingkirkan. Semua dayang dan pengawalnya adalah orang-orang muda belia. Selanjutnya, Raja memerintahkan untuk membuat tembok tinggi mengelilingi istana dan kebun dengan pintu-pintu yang kokoh kuat dan dijaga siang malam oleh orang-orang kepercayaan Raja.

Dengan demikian, Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga istananya yang mewah sekali dan selalu dikelilingi oleh penari-penari dan dayang-dayang yang cantik-cantik.

Raja merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya dan berharap bahwa pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Melihat Empat Peristiwa

Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar.

Pada suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata: “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”

Kerena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. “Baik, anakku, engkau boleh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota. Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.”

Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap.

“Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”

Sewaktu Pangeran sedang berjalan-jalan di kota dengan tiba-tiba seorang tua keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kulit mukanya kering dan penuh keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan sekali ia minta-minta makanan dan mangatakan kalau tidak diberi makanan ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah beberapa hari tidak makan.

Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali, karena hal seperti itu baru pertama kali dilihatnya.

“Apakah itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti rambutku? Apa salahnya dengan matanya? Dan giginya dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, O Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?”

Channa menerangkan kepada Pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.

“Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat. Sebaiknya Tuanku melupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal itu tidak dapat dielakkan.”

Tetapi Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk segera kembali ke istana, karena pemandangan orang tua yang baru saja ia lihat telah membuatnya sedih sekali ia ingin merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah, dan sedih dan tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya, meskipun ia kaya, terpandang atau berkuasa.

Malam itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi Pangeran acuh tak acuh saja dan tidak kelihatan gembira sewaktu berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia sedang sibuk merenung dan dalam hati berkata kepada mereka yang hadir, “Pada suatu hari engkau semua akan menjadi tua, tanpa ada yang terkecuali dan begitu pula engkau yang tercantik.”

Setelah pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap saja mengganggunya. Di tempat tidur ia masih merenung bahwa suatu hari semua orang akan menjadi tua, rambutnnya putih, kulitnya keriput, ompong dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal yang menyeramkan itu, yaitu usia tua.

Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran meninggalkan istana. Karena itu Raja memerintahkan kepada dayang-dayangnya untuk lebih sering mengadakan pesta-pesta makan dan tari-tarian.

Berselang beberapa hari Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih dahulu memberitahukannya kepada para penduduk.

Dengan berat hati Raja memberikan izinnya karena Beliau tahu tidak ada gunanya untuk melarang, sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih.

Pada kesempatan ini Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak keluarga bangsawan, karena ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.

Hari itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunga dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran dapat melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja.

Seorang pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang pandai emas sedang membuat kalung, gelang, kerabu dan cincin dari intan, emas dan perak.

Seorang tukang celup pakaian sedang mencelup pakaian dalam beraneka ragam warna yang bagus-bagus dan kemudian menjemurnya. Tukang kue sedang sibuk memanggang roti dan kue dan menjualnya kepada langganannya yang kemudian dimakan selagi masih panas.

Pangeran memperhatikan orang-orang kecil ini yang sederhana dan semua orang kelihatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya. Tetapi pangeran juga melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan bergulingan di tanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Di muka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan napasnya mengap-mengap.

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat Beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan kepalanya di pangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “Mengapa engkau, engkau mengapakah?” Orang sakit itu sudah tidak dapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.

“Channa, katakanlah, mengapakah orang ini?” Apakah yang salah dengan napasnya? Mengapa ia tidak bicara?”

“O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh badannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”

“Tetapi, apakah ada orang lain yang seperti dia?”

“Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat menular. Nanti Tuanku juga akan sakit.”

“Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain sakit pes?”

“Memang, Tuanku, ada ratusan penyakit  yang sama hebatnya seperti sakit pes.”

“Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah sakit datang secara mendadak?”

“Betul, Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.”

Mendengar ini Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungkan hal ini. Raja merasa sedih karena melihat Pangeran pada waktu terakhir ini seperti kurang gembira berhubung dengan kejadian-kejadian yang telah dilihatnya.

Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu.

Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.

Pada kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.

Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian dinyalakannya.

Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut.

“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?”

“Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”

“Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati?”

“Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”

Pangeran heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan di kamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.

“Semua orang di dunia ini pada suatu waktu harus mati; belum ada orang yang tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Tetapi aku rasa pasti ada cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia ini.”

Sewaktu Pangeran mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk di tangan menghampirinya.

Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya.

Pertapa itu menjawab: “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa yang minta-minta makanan. Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka yang berbelas kasihan. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”

Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.

“O, pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?”

“ Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”

Kemudian pertapa itu berlalu dan terus menghilang, Konon diceritakan bahwa pertapa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhattha.

Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati: “Aku juga harus menjadi pertapa seperti itu!”

Tidak lama kemudian datanglah  dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini Pangeran bukan bergembira tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menatap langit yang tinggi dan kemudian berkata:

“Rahulajato, bandhanang jatang.”

Yang berarti:
“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”

Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama “Rahula”.

Dalam perjalanan pulang ke istana Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang karena kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Nibbuta nuna sa mata.
Nibbuta nuna so pita.
Nibbuta nuna sa nari.
Yassa yang idiso pati.”

Yang berarti:
“Tenanglah ibunya.
Tenanglah ayahnya.
Tenanglah istrinya.
Yang mempunyai suami seperti Anda.”

Pangeran terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan :”Nibbuta yang berarti “tenang, padam nafsu-nafsu”, sehingga Beliau menghadiahkan Kisa Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Pangeran Siddhattha meninggalkan Istana

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah.  Tetapi Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.

Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini :

“Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugrah.”

“Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.”

“Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku :

1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
2. Anugerah supaya tidak sakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua dan mati.”

Mendengar pernyataan di atas Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab, bahwa hal-hal yang di atas itu berada di luar kemampuannya dan masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan :

“Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”

“Ayah, relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.”

Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.

Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya dengan gembira dan haru karena tidak lama lagi Beliau akan meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit dan mati.

Selanjutnya Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat dari benang-benang emas dan karena letih tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran. Pada tengah malam Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap yang beraneka ragam. Ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh ke luar, ada yang menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya. ada yang menggigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga.

Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat.

Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya, tetapi hal itu diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya berkata dalam hati : “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”

Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dahulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak mendapat kesukaran waktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota. 

Para pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.

Ketika itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu Pangeran akan menjadi raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa Mara yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya.

Setelah sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).

Saat itu terang bulan di bulan Asatha dan Pangeran berusia 29 tahun.

Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya dan Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi sungai Anoma, Pangeran turun dari kuda, mencopot semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan membawanya ke sorga Tivatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya).

Rambut yang tersisa sepanjang dua Anguli (+/- dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.

Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan kepada Pangeran keperluan seorang bhikkhu yang terdiri dari delapan rupa barang, yaitu : jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.

“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.”

“Jangan Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali dan berikan kepada ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya aku kembali ke istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula dan kepada semua orang yang ada di dunia ini.”

Channa memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka, mengusap-ngusap dan menepok-nepok lehernya dengan penuh kasih sayang sambil berkata : “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan jangan menunggu aku lagi.”

Kanthaka ikut dengan Channa tetapi baru jalan belum seberapa jauh, kuda itu berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran untuk penghabisan kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya basah dengan air mata.

Kembalinya Channa bersama Kanthaka tanpa Pangeran ke Kapilavatthu disambut Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara memeluk leher Kanthaka dan bertanya : “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah yang telah kubuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat Kanthaka sedih dan patah hati.

Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi sungai Anoma di negara Malla.

Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondanna dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan di mana Beliau berada.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Bertapa di hutan Uruvela

Dari tepi sungai Anoma, Pangeran pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari diam di Anupiya, Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di Pandavapabbata.

Raja Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.

“Mengapa Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan Ayah Anda? Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah dari kerajaanku.”

“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orangtuaku, istriku, anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku menjadi seorang pertapa.”

“Kalau tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda berjanji untuk terlebih dahulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak berhasil menemukan obat tersebut.”

“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”

Dari Rajagaha pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat tempat pertapaan Alara-Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga disebut pertapa Gotama) berguru kepada Alara-Kalama dan dalam waktu singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.

Di tempat ini pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir.

Karena merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati, maka pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang yang dapat mengajar tentang hal tersebut.

Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.

Dari Uddaka-Ramaputta pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaaan “Bukan-Pencerapan” juga bukan “Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu singkat pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta, maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.

Tetapi pertapa Gotama masih belum puas, sebab ia masih belum mendapat jawaban tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati.

Pertapa Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna) berlatih dalam berbagai cara penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil maka pertapa Gotama lalu malakukan latihan yang lebih berat lagi.

Ia merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya sehingga keringat mengucur ke luar dari ketiak-ketiaknya. Demikian hebat sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya dan menekan dengan sekuat tenaga.

Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.

Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian sedikit demi sedikit menahan napasnya sampai napasnya tidak lagi ke luar melalui hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis  yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke seluruh tubuh.

Dengan sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet dalam usahanya.

Setelah berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.

Selanjutnya ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali. Kalau perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada lagi. Warna kulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya banyak yang rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.

Seperti cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat, bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Pertama :
“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”

Kedua :
“Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”

Ketiga :
“Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari menggosok kedua kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut, maka pertapa Gotama mengambil keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya, pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai. Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu pertapa Gotama diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan tidak lama kemudian pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain, sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.

Namun lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali, karena dengan berhenti berpuasa pertapa Gotama dianggap telah gagal dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung. Mereka meninggalkannya dan pergi ke taman rusa di Benares.


Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang di antaranya bernyanyi dengan syair sebagai berikut :

“Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.”

Mendengar nyanyian itu pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia berkata :

“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendor.”

Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin  membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan memberitahukan : “Oh, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya.”


Sujata gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama. Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.

Pertapa Gotama menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan antara pertapa Gotama dan Sujata seperti di bawah ini :

“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”

“Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah cetusan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki.”

Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah :

“Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu dengan persembahanmu ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar. Tetapi, adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia dan apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”

“Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak maka hatiku dengan mudah mandapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?”

“Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua pelosok. Sebagaiman engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku.”

Pertapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ke tepi sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan berkata : “Kalau memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Penerangan Agung

Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Di tempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ke Timur dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati :

“Dengan disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Nibbana.”

Kemudian pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan obyek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan apa-apa; takut kepada jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan, kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk dipuji dan dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal; tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.

Perjuangan hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah ini.

Pada saat itu muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi pertapa Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12 league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9 league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan pertapa Gotama ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.

Bumi telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala berlutut di hadapan pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita dengan keberhasilan pertapa Gotama.

Setelah berhasil mengalahkan Mara, pertapa Gotama memperoleh Pubbernivasanussatinana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kelahiran-kelahirannya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 – 22.00.

Pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 – 02.00, pertapa Gotama memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain. Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari Mata Dewa.

Pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 – 04.00, pertapa Gotama memperoleh Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).

Dengan demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian. Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha.

Dengan muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, pertapa Gotama dengan suara lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut :

“Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”

Artinya :
“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini 
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar
Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”

Di kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru; binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat hidup berdampingan dengan damai.

Demikianlah Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada usia 35 tahun.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Tujuh Minggu Setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama sang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang sekali dan penuh kedamaian.

Selama minggu kedua Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandangnya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai cetusan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu bergulat untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Sang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.

Selama minggu ketiga Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang dicipta-Nya di udara, karena melalui mata dewa-Nya Sang Buddha mengetahui, bahwa dewa-dewa di sorga masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.

Selama minggu keempat Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah, putih dan jingga dan campuran kelima warna tersebut. Kini warna-warna tersebut diabadikan sebagai bendera umat Buddha.

Selama minggu kelima Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi.

Di sinilah tiga orang anak Mara, yaitu : Tanha, Arati dan Raga masih berusaha untuk mengganggunya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat, sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu itu meninggalkan Sang Buddha.

Selama minggu keenam Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan lebat, maka datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya jangan sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda.Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi hawa nafsu. Lenyapnya “Sang Aku” merupakan berkah yang tertinggi.”

Selama minggu ketujuh Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke-50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu. Sang Buddha agak tertegun sejenak, karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di sungai Neranjara dan sejak jaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba-tiba empat orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha dari sebelah Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat dan Kuvera dari Utara) datang menolong dengan membawa seorang satu mangkuk yang dipersembahkan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerima empat mangkuk tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya dijadikan satu mangkuk.

Sang Buddha dengan demikian dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Selesai Sang Buddha makan, maka kedua pedagang itu mohon diterima sebagai pengikut.

Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Sang Buddha dan Dharma. Kemudian mereka mohon diberikan suatu benda yang mereka dapat bawa pulang. Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa lembar rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini.

Setelah makan Tapussa dan Bhallika melanjutkan perjalanannya. Sang Buddha merenung apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak.

Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti, sehingga menimbulkan perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma.

Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha :

“Semoga Sang Tathagata, demi belas kasihan kepada para manusia, berkenan mengajarkan Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah dapat mengerti Dhamma yang akan diajarkan.”

Hingga kini permohonan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha tetap diperingati dengan permohonan kepada seorang Bhikkhu untuk mengajar Dhamma yang berbunyi sebagai berikut :

“Brahma ca lokadhipati Sahampati
Katanjali adhivarang ayacatha
Santidha sattapparajakka jatika
Desetu Dhammang anukampimang pajang.”

Artinya :
“Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya dan memohon,
Ada makhluk-makhluk yang dihinggapi sedikit kekotoran batin
Demi belas kasihan kepada mereka, ajarkanlah mereka Dhamma.”

Dengan mata dewa Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terlalu terikat kepada hal-hal duniawi dan mudah mengerti Dhamma.

Karena itu Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dhamma demi belas kasihan-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Aparuta tesang amatassa dvara
Ye sotavanto pamuncan tu saddhang.”

Artinya :
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi
Bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan.”

Perhatian-Nya kemudian ditujukan kepada Alara Kalama, tetapi para dewa segera memberitahukan, bahwa Alara seminggu yang lalu telah meninggal dunia. Kemudian perhatian-Nya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun para dewa juga mengatakan, bahwa kemarin malam Uddaka meninggal dunia. Selanjutnya Sang Buddha mengalihkan perhatian-Nya kepada lima orang pertapa yang pernah bersama-sama melakukan pertapaan. Kelima orang itu sekarang berada di taman rusa di kota Benares, ibukota negara Kasi.

Sang Buddha segera berangkat menuju ke taman rusa di Benares. Dalam perjalanan ke Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa Ajivaka bernama Upaka. Terpesona melihat Sang Buddha yang wajahnya demikian cemerlang, Upaka bertanya siapakah guru Sang Buddha. Sang Buddha menjawab bahwa Beliau adalah Orang Yang Maha Tahu dan tidak mempunyai guru siapa pun juga. Tetapi Upaka nampaknya sama sekali tidak terkesan. Ia menggelengkan kepala dan kemudian meneruskan perjalanannya, sedangkan Sang Buddha sendiri juga melanjutkan perjalanan-Nya ke Benares.
----------------------------------------------------------------------------------------------------


Pemutaran Roda Dhamma

Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuki taman rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan :

“Kawan-kawan, lihat pertapa Gotama sedang memasuki taman; ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari penghidupan suci dan kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita jangan memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau ia boleh berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal!”

Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Sang Buddha tidak sama dengan pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati.

Seorang di antara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi bergegas-gegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha.

Setelah mengambil tampat duduk Sang Buddha lalu berkata :

“Dengarlah, O pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan, dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti di kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam penghidupan ini, bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”

Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha, sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa; mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung, dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan, bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan.

Mereka menjawab:

“Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”

“Kamu keliru, pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke penghidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.”

Setelah kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya, maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai “Dhammacakkappavattana Sutta” (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat Purnamasidi di bulan Asalha.

Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondanna memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (anna) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu).

Anna Kondanna yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan.”

Dengan demikian Anna Kondana menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”.

Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut.

Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.

Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.

Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul “Anattalakkhana Sutta”.

Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini :

“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?”

“Mereka tidak kekal, Bhante.”

“Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?”

“Di sana terdapat penderitaan, Bhante.”

“Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku,’ ‘aku’ dan ‘diriku’?”

“Tidak tepat, Bhante.”


Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari Kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhana Sutta
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Yasa

Waktu itu di Benares bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa adalah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha. Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Penghidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.

Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Sebab tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah manakutkan tempat ini!” Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke taman rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur: “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini. Aku akan mengajarmu.”

Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir: “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”

Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di sorga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu dan faedahnya melepaskan diri dari semua ikatan duniawi.

Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya.

Keesokan harinya seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut, karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di taman rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dahulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di sorga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu dan faedahnya melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan.

Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan: “Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai Upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.” Dengan demikan ayah dari Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. (Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma, karena pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.

Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.

Ayah Yasa menegur anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya dengan mengatakan: “Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan nyawa ibumu.”

Yasa menengok ke arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab: “Kepala keluarga yang baik, beberapa waktu berselang Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga Anda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan Sempurna. Hari ini Yasa berhasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan mencapai Pembebasan Sempurna. Cobalah pikir, apakah mungkin Yasa kembali ke penghidupan biasa dan menikmati kesenangan nafsu-nafsu indriya?”

“Aku rasa memang tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rezekinya. Tetapi, bolehkah saya mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana (makanan) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhuni pengiring?”

Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya.

Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhu. Sang Buddha menahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama, yaitu : “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah penghidupan suci.” Perbedaannya, bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan”dan singkirkanlah penderitaan”, karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa, karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri).

Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji kebagusan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha untuk seumur hidup.

Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma dan Sangha).

Setelah itu makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan Sang Buddha dan Yasa kembali ke taman rusa Isipatana.

Di Benares Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya, yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa Ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan penghidupannya yang mewah.

Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa dan kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi Bhikkhu.

Setelah mendapat penjelasan tambahan keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang.

Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Mulai Menyebarkan Dhamma

Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, oh bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajarkan Dhamma.”

Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.

“Aku pekenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkap kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu,  “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”

Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”.

Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia membawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.

Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Kassapa Bersaudara

Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.

Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut :

“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.”

“Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa.

“Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.”

“Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.”

Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.

Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.

Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi.

Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan.

Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.

Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.

Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.

Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.

Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.

Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kasspa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.

Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya.

Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta.

Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Maha Kassapa

Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.

Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari desa Mahatittha di negara Magadha.

Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.

Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarakan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai objek meditasi.”

Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.

Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari ke delapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.

Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan. Tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.

Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).

Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun.

Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Raja Bimbisara

Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maharaja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.

Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.

Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajarkan Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.

Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja.

Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu, Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dahulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di upacara keagamaan. apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?”

Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yanna atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api.”

Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini?” Coba kamu ceritakan.”

Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.”

Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.

Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.

Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil, “Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah itu telah terpenuhi.

Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai Upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan harinya, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana.

Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.

Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat  menyerahkan Veluvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut.

Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk para bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sariputta dan Moggallana

Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta Brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli.

Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang terpandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.

Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma.

Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan.

Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?”

Ayasma Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini kau mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.”

“Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?”

“Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan ajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.”

“Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.”

Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini :

”Ye dhamma hetuppabhava,
Tessam hetum Tathagatho,
Tesanca yo nirodho ca,
Evam vadi mahasamano.”

Artinya :
“Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’
‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata,
Dan juga lenyapnya kembali,
Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung.”
Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperolah Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya,

“Yankinci samudayadhammam
Sabbantam nirodha dhammam.”

Artinya :
“Segala sesuatu yang timbul karena satu ‘sebab’
Di dalamnya pun terdapat ‘sebab’ yang membuat ia musnah kembali”
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.

Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dahulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertemuan Besar Para Arahat

Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu :

1. Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
2. Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhinna),'
3. Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan “Ehi bhikkhu”.
4. Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovada Patimokkha.
Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha.

Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5) :

“Sabba papassa akaranam,
Kusalassa upasampada,
Sacittapariyo dapanam,
Etam Buddhana sasanam.
Khanti paramam tapo titikkha,
Nibbanam paramam vadanti Buddha,
Na hi pabbajjito parupaghati,
Samano hoti param vihethayanto.
Anupavado, anupaghato,
Patimokkhe ca samvaro,
Mattannuta ca bhattasmim,
Pantham ca sayanasanam,
Adhicitte ca ayogo,
Etam Budhana sasanam.”

Artinya :
“Janganlah berbuat kejahatan,
Perbanyaklah perbuatan baik,
Sucikan hati dan pikiranmu,
Itulah ajaran semua Buddha.
Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik,
Sang Buddha bersabda : Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya,
Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain,
Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.
Tidak menghina, tidak melukai,
Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib,
Makanlah secukupnya,
Hidup dengan menyepi,
Dan senantiasa berpikir luhur,
Itulah ajaran semua Buddha.”

Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai/ Thailand.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Kembali ke Kapilavatthu

Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut ‘lupa’ untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.

Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu”. Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 km) ditempuh dalam waktu enam puluh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana.

Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombongan sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untuk rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin).

Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama.

Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. 111, 141-121).

Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, “Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat dudukku, mereka mungkin akan mencela sikapku dan mengatakan, ‘Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayahnya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.’ Tetapi tidak ada makhluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatinya. Lebih baik aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara.”

Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.


Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air dingin memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah.

Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sedih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dan pergi bertapa di hutan Uruvela.

Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat, maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yasodhara menampung dengan kedua tangannya air yag keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati.

Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menyaksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga membuat hatinya gembira sekali.

Setelah Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap di sebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur. Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, selanjutnya lari dari arah Selatan dan lenyap di sebelah Utara.

Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya.

Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddhattha sesungguhnya telah menjadi Buddha. Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, “Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah pohon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya.”

Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sang Buddha baik-baik saja. “Dulu anakku selalu  memakai sandal terbuat dari kain wol halus yang beraneka warna dan berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?”

Sang Buddha menjawab,

“Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbebas dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tidak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu para pelayan tiap kali memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku menggembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?”

Sang Buddha menjawab,

“Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang.

Dhamma, oh Baginda, adalah telaga yang mempunyai kebajikan sebagai pantainya. Ia tak ternoda dan selalu dipujikan oleh para bijaksana. Orang yang pernah mandi di telaga dewa tersebut dapat membersihkan seluruh dunia dan membuatnya harum dengan jasa-jasa baiknya.”

Raja Suddhodana berkata,

“Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini.”

Sang Buddha menjawab,

“Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangkan atau tidak menyenangkan.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaaan. Lagipula, Kanthaka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?”

 Sang Buddha menjawab,

“Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, Kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, makan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu.”

Sang Buddha menjawab,

“Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dunia ini.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan barbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?”

Sang Buddha menjawab,

“Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas kasih kepada semua makhluk.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya.”

Sang Buddha menjawab,

“Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pula Aku dapat pergi kemana pun yang Kuhendaki.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit.”

Sang Buddha menjawab,

“Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit.”

Raja Suddhodana berkata,

“Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa.Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal ini kepadaku.”

Sang Buddha menjawab,

“Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama dengan gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun selembar rambut-Ku. Karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karena tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir.

Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan dan pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala.

Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapapun, dapat merasa takut?”

Raja Suddhodana kembali bertanya,

“Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang raja) dan menjadi seorang pertapa.”

Sang Buddha menjawab,

“Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini.”

Setelah percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.

Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha bersama-sama dengan pengikut-pengikut-Nya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka melihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dari penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khattiya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulkan makanan.

Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut dan malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui Sang Buddha.

Raja Suddhodana kemudian menegur,

“Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan menggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?”

“Aku tidak membuat ayah malu, oh baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami.” jawab Sang Buddha dengan tenang.

“Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?”

“Oh, Baginda, memang ini bukan merupakan kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk.”

Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya mengambil makanan di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Putri Yasodhara

Setelah Sang Buddha beserta rombongan selesai makan di tengah hari, berduyun-duyun orang, yang dulu pernah mengenal Pangeran Siddhattha, datang menemuinya untuk sekedar berbincang-bincang dan memberi hormat. Mereka semua merasa gembira sekali dapat bertemu lagi dengan Sang Pangeran, yang sekarang sudah menjadi Buddha, dihormati, dicintai, dan dipuja oleh demikian banyak orang.

Tetapi Yasodhara berada di kamarnya dan berpikir, “Pangeran Siddhattha sekarang sudah mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha. Beliau sekarang termasuk golongan Buddha. Apakah pantas bila aku datang menemuinya? Beliau pasti tidak dan juga tidak mungkin membutuhkanku lagi. Karena itu, apakah pantas kalau aku sekarang datang menemuinya? Aku rasa, lebih baik aku tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi. Kalau Beliau datang menemuiku, aku akan memberi Beliau penghormatan yang layak.”

Setelah berbicara dengan para pengunjung-Nya untuk beberapa waktu lamanya, Sang Buddha bertanya, “Di manakah Yasodhara?”

Raja Suddhodana menjawab, “Oh, Yasodhara ada di kamarnya.”

“Kalau begtu, marilah kita pergi menjenguknya.” kata Sang Buddha.

Sang Buddha menyerahkan mangkuk-Nya kepada Raja Suddhodana dan berjalan di muka menuju kamar Putri Yasodhara. Waktu tiba di depan kamar, Sang Buddha berpesan kepada ayah-Nya, “Biarkan saja Yasodhara memberi hormat kepada-Ku sebagaimana yang dikehendaki. Jangan berkata apa-apa atau melarangnya.”

Waktu Putri Yasodhara diberi kabar tentang kedatangan Sang Buddha, Putri segera memerintahkan semua pelayannya memakai baju kuning untuk memberi hormat selamat datang kepada Sang Buddha.

Setelah Sang Buddha memasuki kamar, dengan cepat Putri Yasodhara menyambutnya sambil berlutut dan memegang kaki Sang Buddha. Kemudian Putri Yasodhara melepaskan rasa rindunya dengan meletakkan kepalanya di atas kaki Sang Buddha dan menangis tersedu-sedu sehingga Sang Buddha basah dengan air mata.

Sang Buddha berdiri diam saja dan dengan batin yang waspada memancarkan gaya-gaya kasih sayang dan belas kasih kepada Putri yang sedang menangis memegang kaki-Nya. Setelah lewat beberapa waktu, Putri yang sedang menangis, membersihkan kaki Sang Buddha yang basah dengan air mata untuk kemudian dengan hormat mempersilakan Sang Buddha dan Raja Suddhodana mengambil tempat duduk masing-masing yang sudah disediakan. Setelah Putri sendiri juga mengambil tempat duduk, Raja Suddhodana berkata kepada Sang Buddha,

“Yang Maha Bijaksana, waktu Putri mendengar bahwa anakku memakai jubah kuning, Putri pun memakai baju kuning. Waktu mendengar bahwa anakku makan hanya satu kali sehari, Putri pun makan hanya satu kali sehari. Waktu mendengar bahwa anakku tidak tidur di dipan yang tinggi dan mewah, Putri pun tidur di atas dipan yang rendah dan sederhana. Waktu Putri mendengar bahwa anakku tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian, Putri pun tidak lagi memakainya. Waktu keluarganya mengirim pesan bahwa mereka bersedia menanggung semua keperluan hidupnya, Putri tidak menggubrisnya sama sekali. Sungguh bijak menantuku Yasodhara ini.”

Sang Buddha menjawab,

“Bukan di kehidupan ini saja, oh Baginda, juga dalam kehidupan-kehidupan yang lampau Yasodhara selalu melindungi, berbakti, dan setia kepada-Ku.”

Kemudian Sang Buddha menceritakan Candakinnara Jataka, yaitu kisah tentang kehidupan-Nya yang lampau bersama-sama Yasodhara, seperti di bawah ini :

“Dalam salah satu kehidupan yang lampau, Sang Bodhisatta dilahirkan sebagai seekor Kinnara (burung dengan kepala manusia) bernama Canda, yang hidup di Gunung Himava dengan istrinya yang bernama Candā.

Pada Suatu hari mereka sedang bersuka ria di dekat sungai kecil dengan bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Pada waktu itu Raja Benares sedang berburu di hutan dan melihat Candā sedang bernyanyi dan menari. Seketika itu Raja jatuh cinta kepadanya. Raja memanah Canda dan matilah Canda. Istrinya, Candā, memeluk mayat suaminya dan menangis tersedu-sedu. Raja Benares datang menghibur dengan mengatakan, “Engkau tak usah bersedih atas kematian suamimu. Aku mempersembahkan segenap cintaku dan seluruh isi kerajaanku, apabila engkau bersedia menjadi permaisuriku.”

Candā tidak menghiraukan hiburan Raja Benares dan terus meratap dan menangis sambil memprotes kepada para Dewata Agung yang membiarkan suaminya mati dibunuh orang.

Demikian keras protes Candā, sehingga menggerakkan hati Raja Dewa Sakka. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Dewa Sakka turun ke dunia dan menghidupkan kembali Canda. Canda ialah yang sekarang dilahirkan sebagai Pangeran Siddhattha dan Candā ialah Putri Yasodhara.

Hari itu Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Sakadagami dan Putri Yasodhara menjadi seorang Sotapanna.

Di buku-buku suci Ti Pitaka (lihat D.P.N hal 741), Yasodhara sewaktu-waktu disebut sebagai Rahulamata, Bhaddakaccana, Bimbadevi, Bimbasundari, dan Bimba.

Agama Buddha aliran Utara lebih menyukai nama Yasodhara, tetapi sering juga menyebutnya sebagai Bimba, Bhaddakacca dan Subhaddaka, dan dianggap sebagai Putri dari Dandapani.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pangeran Nanda

Pangeran Nanda adalah seorang saudara tiri Pangeran Siddhattha, yaitu anak dari Putri Pujapati, adik dari Ratu Maya. Karena Pangeran Siddhattha, putra mahkota dari kerajaan Sakya, telah menjadi seorang pertapa, maka Raja Suddhodana ingin menobatkan Pangeran Nanda yang berumur 35 tahun, sebagai putra mahkota menggantikan kedudukan Pangeran Siddhattha. Pada waktu yang sama, Raja Suddhodana ingin pula menikahkan Pangeran Nanda dengan Putri Janapada Kalyani dan memberikan sebuah istana untuk tempat tinggal kedua mempelai.

Pada hari ketiga Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Raja Suddhodana mengundang Sang Buddha untuk menghadiri upacara yang penting tersebut dan memberkahi kedua mempelai.

Sang Buddha datang di tempat upacara, makan hidangan yang telah disediakan, memberi berkah kepada semua orang yang hadir dan kemudian pamitan pulang setelah memberi mangkuk-Nya kepada Pangeran Nanda.

Sang Buddha berjalan ke luar istana dengan diikuti Pangeran Nanda yang membawa mangkuk Sang Buddha. Pangeran Nanda berpikir, “Sang Bhagava akan mengambil kembali mangkuk-Nya di pintu istana.” Tetapi Sang Buddha terus berjalan ke luar. Kemudian Pangeran Nanda berpikir, “Sang Buddha akan mengambil mangkuk-Nya di pintu pagar istana.”

Mempelai wanita, Putri Janapada Kalyani, melihat suaminya mengikuti Sang Buddha dan berpikir, “Suami saya mungkin pergi ke vihara dan akan pamitan setelah tiba di sana.” Karena itu Putri berpesan, :”Kekasihku, jangan pergi terlalu lama, cepat-cepatlah pulang.”

Tiba di vihara, Pangeran Nanda mengembalikan mangkuk kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian bertanya, “Nanda, apakah engkau mau menjadi bhikkhu?” Pangeran Nanda menjawab, “Mau Bhante.” Sang Buddha kemudian mentahbiskannya menjadi bhikkhu.

Setelah ditahbiskan, Nanda merasa menyesal dan menderita sekali karena terus memikirkan istrinya yang cantik. Hal ini dilihat oleh bhikkhu lain yang kemudian menegurnya, “Mengapakah Anda kelihatannya begitu sedih?”

Saudara, aku sebenarnya menyesal. Aku tidak menyukai kehidupan sebagai bhikkhu. Aku ingin melepaskan jubah dan pulang ke istana,” jawab Nanda. Bhikkhu ini kemudian pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha. Sang Buddha memanggil Nanda dan dengan kekuatan gaib, Beliau menciptakan seekor monyet betina dan beberapa bidadari dan bertanya, “Nanda, coba katakan, manakah yang lebih cantik, istrimu atau monyet betina itu?”

“Bhante, Janapada Kalyani dapat diumpamakan sebagai monyet betina kalau dibandingkan dengan para bidadari.”

“Bergembiralah, Nanda. Aku jamin bahwa engkau akan memiliki bidadari tersebut, bila saja engkau mau bekerja keras.”

“Kalau begitu, dengan segala senang hati aku ingin terus menjadi bhikkhu,” jawab Nanda.

Ia kemudian dengan tekun mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Sang Buddha dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian yang tertinggi dan tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali ke istana.
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Pangeran Rahula

Pada hari ke tujuh Sang Buddha di Kapilavatthu, Putri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya ke sebuah jendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Putri Yasodhara kemudian bertanya kepada Rahula, “Anakku sayang, tahukah engkau siapa orang itu?”

“Beliau adalah Buddha, Ibu,” jawab Rahula.

Yasodhara tidak dapat lagi menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata,

“Sayang, pertapa yang kulitnya kuning emas itu dan kelihatannya sebagai Brahma dikelilingi oleh ribuan murid-Nya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Setelah ayahmu meninggalkan istana, tidak lagi diketahui apa yang terjadi dengan harta tersebut. Pergilah kepadanya dan mintalah hadiah sambil barkata, “Ayah, aku adalah Pangeran Rahula. Kalau aku kelak menjadi Raja, aku akan menjadi Raja di raja. Aku mohon diberi harta pusaka, karena seorang anak adalah pewaris dari apa yang menjadi milik ayahnya.”

Pangeran Rahula yang masih murni dan belum tahu apa-apa pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha dan menatap muka-Nya, Rahula mengatakan apa yang tadi dipesankan oleh ibunya. Kemudian ia menambahkan, “Ayah, bahkan bayangan Ayah membuat hatiku senang.”

Selesai makan siang, Sang Buddha meninggalkan istana dan Rahula mengikuti sambil terus merengek-rengek, “Ayah, berikanlah harta pusaka, Ayah memiliki banyak harta, Ayah, aku mohon dengan sangat, berikanlah kepadaku warisan.”

Tidak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan saja Rahula merengek-rengek sambil terus mengikuti jalan di samping-Nya. Tiba di taman, Sang Buddha berpikir,

“Rahula minta warisan harta pusaka ayahnya, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik Aku memberinya warisan yang berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang Aku peroleh di bawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewarisi harta pusaka yang paling mulia.”

Tiba di vihara, Sang Buddha minta kepada Sariputta untuk mentahbiskan Rahula menjadi Samanera.

Mendengar berita bahwa Rahula telah ditahbiskan menjadi samanera, Raja Suddhodana menjadi sedih sekali.

Raja lalu pergi menemui Sang Buddha dan dengan sopan menegur dengan kata-kata,

“Waktu dulu anakku meninggalkan istana membuat aku sedih, sedih dan sakit sekali. Waktu Nanda meninggalkan istana hatiku menjadi hancur dan menderita sekali. Kemudian aku mencurahkan cinta dan perhatianku kepada cucuku Rahula dan mencintai melebihi cintaku kepada siapa pun juga. Sekarang Rahula dibawa kemari dan ditahbiskan menjadi samanera. Aku sangat menyesal dan tidak senang akan apa yang telah terjadi. Aku mohon dengan sangat  agar mulai hari ini tidak lagi ada seorang bhikkhu atau samanera yang ditahbiskan tanpa izin dari orang tuanya.”

Sang Buddha menyetujui permohonan Raja Suddhodana dan mulai hari itu tidak mentahbiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari orangtuanya.

Keesokan harinya, setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anagami.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ananda

Setelah Sang Buddha beberapa lama diam di Kapilavatthu, 80.000 orang telah ditahbiskan menjadi bhikkhu, yaitu satu orang dari setiap keluarga. Kemudian Sang Buddha dengan rombongan berangkat ke Rajagaha.

Sewaktu dalam perjalanan, Sang Buddha berhenti di hutan mangga Anupiya dan di tempat itu Beliau dikunjungi oleh Anuruddha, Bhaddiya, Ananda, Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan tukang pangkas rambut mereka yang bernama Upali.

Di kisahkan bahwa lima orang dari mereka dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian Arahat. Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan Devadatta tidak mencapai tingkat kesucian, tetapi memperoleh kekuatan gaib yang luar biasa dan yang tertinggi yang dapat dicapai seorang manusia.

Ananda dilahirkan pada hari, bulan, dan tahun yang sama dengan Sang Buddha dan terkenal sekali karena sumbangannya untuk kemajuan dan perkembangan Buddha Dhamma.

Selama 20 tahun setelah mencapai Penerangan Agung, Sang Buddha belum mempunyai seorang pembantu tetap. Setiap hari secara bergantian bhikkhu Nagasamala, Nagita, Upavana, Sunakkhata, Sagata, Radha, dan Meghiya, dan samanera Cunda membantu dan melayani Sang Bhagava (Buddha), meskipun tidak teratur.

Pada suatu hari dalam khotbah-Nya di Rajagaha, Sang Bhagava menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap karena merasa usia-Nya yang sudah meningkat. Semua murid utama-Nya yang terdiri dari delapan puluh Arahat, seperti Sariputta dan Mogallana, menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap. Tetapi semuanya ditolak. Para Arahat kemudian menganjurkan Ananda, yang selama itu diam saja, untuk memohon kepada Sang Bhagava agar dapat diterima menjadi pembantu tetap. Jawaban Ananda dalam hal ini sungguh menarik sekali. Ananda mengatakan, “Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai pembantu tetap, Sang Bhagava boleh mengatakannya.”

Kemudian Sang Buddha berkata, “Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi pembantu tetap Sang Buddha.”

Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap asal saja Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu untuk menolak empat hal dan meluluskan empat hal lainnya.

Empat hal yang Ananda mohon supaya ditolak adalah :

1. Apabila Sang Buddha menerima pemberian jubah yang bagus, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda.

2. Kalau Sang Buddha menerima hadiah, maka hadiah tersebut tidak boleh diberikan kepada Ananda.

3. Bahwa Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti).

4. Kalau Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk untuk dirinya.

Ananda mengatakan kalau Sang Buddha melakukan satu dari empat hal yang tersebut di atas, maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi pembantu tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal yang menyenangkan dan agar bisa ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.

Empat hal yang Ananda mohon Sang Buddha menerimannya :

1. Kalau Ananda menerima sebuah undangan atas nama Sang Buddha, maka Sang Buddha harus memenuhinya.

2. Kalau ada orang datang dari tempat jauh, supaya ia boleh membawanya menghadap kepada Sang Buddha.

3. Setiap waktu ia diperbolehkan untuk bertanya kepada Sang Buddha, apabila ia merasa ada sesuatu yang diragu-ragukan.

4. Apa pun juga yang Sang Buddha khotbahkan sewaktu ia tidak hadir, supaya Sang Buddha bersedia mengulangnya kembali.

Kalau hal ini tidak diperkenankan, orang akan bertanya-tanya, apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Hanya kalau delapan permohonan ini dikabulkan, ia akan mendapat kepercayaan khalayak ramai dan mereka tahu bahwa Sang Buddha mempunyai kepercayaan besar terhadap dirinya. Setelah Sang Buddha setuju dan memberikan anugerah (Vara) berupa Delapan Hak Istimewa tersebut, maka mulai hari itu Ananda resmi menjadi Buddha-Upatthaka (pembantu tetap Sang Buddha).

Selama 25 tahun lamanya Ananda melayani Sang Buddha, mengikuti-Nya sebagai sebuah bayangan, mengambilkan air, mencuci kaki-Nya, menemani kemana pun Sang Buddha pergi, membersihkan kamar-Nya dan hal-hal lain lagi.

Justru karena hubungan erat inilah, maka Ananda mempunyai kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Dibantu dengan ingatan kuat yang dimilikinya, maka Ananda dapat mengulang semua khotbah Sang Buddha. Karena itu Ananda juga dinamakan Bendahara Dhamma (Dhamma-bhandagarika).

Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat, yaitu pada hari pembukaan Sidang Agung Pertama di Goa Sattapanni, kota Rajagaha yang diketuai oleh Maha Kassapa. Di sidang tersebut, Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Sang Buddha, sedangkan Upali mengulang tata tertib (Vinaya) para bhikkhu dan bhikkhuni.

Patut pula dicatat sebagai jasa Ananda bahwa berkat sokongannya yang kuat, Putri Pajapati berhasil diterima menjadi bhikkhuni oleh Sang Buddha, yang menjadi permulaan berdirinya Sangha Bhikkhuni.

Dan Ananda jugalah, atas perintah Sang Buddha, merancang jubah bhikkhu dengan mengambil contoh sawah-sawah di Magadha.

Ananda meninggal dunia pada usia 120 tahun. Pada hari akan meninggal dunia, Ananda pergi ke tepi Sungai Rohini. yang menjadi perbatasan antara Kapilavatthu dan negara Koliya. Setelah memberikan khotbah kepada para keluarganya yang berkumpul di kedua tepi sungai, Ananda berjalan ke tengah Sungai Rohini dan di situlah dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya.

Keluarganya di kedua tepi sungai mengumpulkan abu sisa badan jasmaninya, dibagi dua dan kemudian mereka mendirikan dua buah stupa sebagai penghormatan kepada Ananda, satu di Kapilavatthu dan satu lagi di negara Koliya.

Seperti diketahui di halaman muka, Ananda adalah putra tunggal dari Pengeran Sukkhodana, adik Raja Suddhodana.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Anathapindika

Anathapindika dilahirkan di Savatthi. Ayahnya seorang jutawan yang bernama Sumana. Nama sebenarnya adalah Sudatta, tetapi karena kedermawannya dan selalu bersedia menolong orang yang melarat, maka ia diberi nama Anathapindika yang berarti “Pemberi makan orang yang melarat”. Istrinya bernama Punnalakkhana, kakak dari seorang jutawan di Rajagaha dan mempunyai seorang putra bernama Kala, serta tiga orang putri bernama Mahasubhadda, Culasubhadda, dan Sumana.

Pada suatu hari Sang Buddha tiba di hutan Sitavana dalam perjalanan dari Kapilavatthu ke Rajagaha. Di tempat inilah untuk pertama kali anathapindika bertemu dengan Sang Buddha, waktu Anathapindika berkunjung ke Rajagaha untuk urusan dagang. Di rumah kakak iparnya di Rajagaha, ia melihat bahwa jutawan dari Rajagaha ini sedang sibuk mempersiapkan hidangan untuk Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Demikian mewahnya hidangan yang sedang disiapkan, sehingga ia berpikir barangkali ada pesta pernikahan atau mungkin untuk menerima kedatangan seorang Raja. Setelah diberitahu bahwa semua hidangan itu disiapkan untuk menerima kedatangan Sang Buddha, maka timbul hasrat dalam dirinya untuk mengunjungi Sang Buddha.

Ia bermaksud untuk mengunjungi Sang Buddha pagi-pagi sekali keesokan harinya. Memikirkan kunjungan ini membuat Anathapindika demikian tegang, sehingga malam itu ia terbangun sampai tiga kali dari tidurnya. Waktu ia berangkat ke Sitavana, hari masih gelap. Ketika hendak melintasi tanah pekuburan, hatinya merasa takut sekali sehingga ia menggigil. Tetapi kepercayaannya terhadap Sang Buddha demikian kuat, sehingga dari tubuhnya keluar cahaya yang menerangi jalan yang harus dilaluinya. Lagipula seorang makhluk halus (yakkha) bernama Sivaka yang baik hati memberi ia semangat, sehingga akhirnya tibalah Anathapandika di Sitavana. Pada waktu itu Sang Buddha sedang jalan hilir mudik sambil menghirup udara pagi hari yang segar.Sang Buddha menyapanya dengan memanggil nama pribadinya. Kemudian Sang Buddha memberikan uraian Dhamma yang membuat Anathapindika menjadi seorang Sotapanna.

Waktu mau pamitan pulang, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk keesokan harinya makan siang di rumahnya.

Setiba di rumahnya, Anathapindika sibuk mempersiapkan sendiri semua kebutuhan untuk keesokan harinya dan menolak tawaran kakak iparnya dan Raja Bimbisara yang ingin membantunya. Selesai makan siang yang ia layani sendiri, Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk ber-vassa (istirahat musim hujan) di Savatthi. Sang Buddha menerimanya dengan mengatakan, “Para Tathagata, oh kepala keluarga, menyukai tempat yang sunyi.”

“Saya mengerti, oh Bhagava, saya mengerti, Sugata,” jawab Anathapindika.

Setelah menyelesaikan urusan dagangnya di Rajagaha, Anathapindika pulang ke Savatthi. Sepanjang jalan dari Rajagaha ke Savatthi, ia meninggalkan pesan kepada sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya agar menyiapkan tempat tinggal, taman-taman, rumah-rumah untuk istirahat dan hadiah-hadiah dalam rangka menyambut kunjungan Sang Buddha ke Savatthi.

Mengetahui bahwa Sang Buddha menerima tawaran untuk ber-vassa di Savatthi, maka setibanya di Savatthi, Anathapindika mencari sebidang tanah yang luas dan sunyi untuk membuat tempat tinggal bagi Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Ia ingat kepada taman Pangeran Jeta yang memenuhi syarat yang dikemukakan Sang Buddha. Ia menghubungi Pangeran Jeta dan mengutarakan maksudnya untuk membeli tanah tersebut bagi tempat tinggal Sang Buddha dan para pengikut-Nya. Tetapi Pangeran Jeta menjawab bahwa tamannya tidak dijual, meskipun Anathapindika sanggup membayar sepuluh juta uang emas. Karena Anathapindika terus mendesak, maka akhirnya ia setuju menjual tamannya asalkan saja Anathapindika sanggup menutupi taman tersebut dengan uang emas.

Dengan tanpa pikir panjang, Anathapindika segera menyuruh pelayannya untuk mengeluarkan uang emas dari gudang hartanya dan menutupi taman dengan mata uang emas. Tetapi menjelang semua tanah akan tertutup dengan mata uang emas, tiba-tiba Pangeran Jeta datang dan meminta agar sisa tanah yang belum tertutup uang emas dianggap sebagai sumbangan Pangeran Jeta kepada Sang Buddha. Setelah itu Anathapindika memerintahkan untuk membuat sebuah vihara yang besar dan megah dengan biaya yang besar sekali.

Dikisahkan bahwa Sang Buddha berada di vihara Jetavanarama tersebut selama sembilan belas vassa, khususnya pada waktu Beliau sudah berusia lanjut dan vihara inilah Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang terbanyak.

Anathapindika dua kali sehari mengunjungi Sang Buddha dan sering membawa banyak sahabatnya. Kalau datang ia selalu membawa hadiah-hadiah untuk para bhikkhu muda dan samanera. Tetapi anehnya, ia sendiri tidak pernah menanyakan sesuatu karena khawatir membuah Sang Buddha lelah. Di pihak lain, Sang Buddha sendiri sering memberikan uraian Dhamma kepadanya.

Tiap hari Anathapindika memberi makan kepada seratus orang bhikkhu dan menyediakan juga makanan untuk para tamu, penduduk desa dan mereka yang kebetulan datang ke rumahnya. Lima ratus tempat duduk selalu siap di rumahnya untuk menerima siapa saja yang datang.

Seisi rumahnya berpegang teguh kepada Panca-Sila dan pada hari-hari Uposatha (tanggal 1,8, 14/15, 22/23 menurut penanggalan bulan) mereka berpuasa.

Pada waktu itu, ketika Sang Buddha sedang berkeliling, Anathapindika merasa sedih sekali karena tidak ada sesuatu yang dapat dipujanya. Oleh karena itu bersama-sama penduduk Savatthi lain ia minta kepada Ananda untuk membuat tempat di mana mereka dapat memuja dan memuliakan nama Sang Buddha. Atas saran Sang Buddha, satu cangkokan dari pohon Bodhi di Gaya ditanam di dekat pintu masuk Jetavanarama. Karena penanaman pohon ini dihadiri oleh Ananda, maka kemudian dikenal sebagai Anandabodhi.

Karena kedermawanannya, Anathapindika diberi gelar “Pemimpin para Dayaka”. Dayaka berarti penyokong Sang Buddha. Ketiga putrinya juga semua turut membantu ayahnya mengurus segala kebutuhan para bhikkhu. Putri pertama dan kedua telah mencapai tingkat kesucian Sotapana, menikah dan kemudian mengikuti suaminya. Putri yang ketiga memperoleh tingkat kesucian Sakadagami. Ia tidak menikah dan tinggal bersama-sama ayahnya.

Putranya semula tidak tertarik mendengarkan Dhamma, namun berkat dorongan ayahnya ia kemudian sering mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian Sotapana.

Anathapindika meninggal dunia sebelum Sang Buddha mangkat. Waktu ia sakit keras, ia mengirim pesan khusus kepada Sariputta, dan Sariputta datang menjenguknya bersama-sama Ananda. Pada waktu itu Sariputta memberikan uraian Dhamma dan selagi Anathapindika memusatkan pikirannya kepada perbuatan-perbuatannya yang baik dan mulia, seketika itu ia sembuh dari sakitnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menyuguhkan kedua Thera tersebut dengan makanan dari pancinya sendiri.

Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia dengan tenang dan bertumimbal lahir di surga Tusita.

Reruntuhan dari Jetavanarama, di dekat Savatthi kini masih dapat dilihat di tempat yang bernama Sabet-mahet (Nepal Selatan).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Visakha

Visakha dilahirkan di kota Bhaddiya, negara Anga, yang terletak di sebelah timur Magadha. Ayahnya bernama Dhanajaya, putra dari Mendaka, dan ibunya bernama Sumana. Waktu Visakha berusia tujuh tahun, Sang Buddha mengunjungi kota Bhaddiya. Waktu itu Mendaka minta Visakha mengunjungi Sang Buddha dan diberi lima ratus orang pengikut, lima ratus orang budak dengan memakai lima ratus kereta.

Tiba di tempat yang dituju, mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan Visakha memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapana. Visakha kemudian mengundang Sang Buddha beserta murid-Nya untuk makan siang keesokan harinya di rumah kakeknya.

Selama empat belas hari berikutnya, Mendaka menjamu Sang Buddha beserta rombongan di rumahnya.

Dikisahkan bahwa Raja Pasenadi dari negara Kosala ingin sekali mempunyai seorang yang banyak jasanya tinggal di kerajaannya. Beliau mengirimkan permohonan kepada Raja Bimbisara, yang waktu itu memerintah kerajaan Magadha dan Anga untuk mencarikan seorang yang banyak jasanya untuk tinggal di kerajaannya. Untuk memenuhi permohonan Raja Pasenadi, Raja Bimbisara lalu memilih Dhanajaya, ayah Visakha, untuk pindah ke Savatthi.

Dalam perjalanan menuju ke Savatthi, Dhanajaya berhenti di satu tempat yang berada tujuh “League” dari Savatthi (1 league = 4.800 atau 5.564 m). Melihat bahwa tempat itu menyenangkan sekali, ia mohon kepada Raja Pasenadi untuk membuat tempat tinggal di tempat tersebut. Permohonan itu dikabulkan dan Dhanajaya membuat rumah di tempat tersebut, yang kemudian berkembang menjadi kota yang dinamakan Saketa. Visakha juga ikut tinggal bersama kedua orangtuanya di Saketa.

Pada suatu hari di Saketa diadakan perayaan dan semua orang pergi ke sungai untuk mandi. Visakha, yang waktu itu berumur lima belas tahun, berdandan dan memakai baju yang bagus. ia ingin turut menyaksikan perayaan tersebut dan bersama kawan-kawannya ia pergi ke tepi sungai.

Tiba-tiba hujan besar turun dan semua gadis kawan Visakha berlari mencari tempat untuk berteduh di sebuah bangsal. Hanya Visakha yang tidak turut berlari dan jalan saja seperti biasa. Tiba di bangsal, bajunya basah kuyup.

Di bangsal itu juga turut berteduh beberapa orang suruhan Migara, seorang jutawan dari Savatthi, yang mencari seorang gadis untuk dinikahkan dengan anaknya, Panavaddhana. Mereka heran melihat Visakha dengan tenang berjalan memasuki bangsal, meskipun bajunya basah kuyup dengan air hujan. Mereka bertanya, “Mengapa engkau tadi tidak lari, sekarang bajumu basah kuyup.”

Visakha menjawab, “Aku punya banyak baju di rumah. Kalau aku lari, mungkin aku terjatuh dan cedera anggota tubuhku. Hal ini akan membawa kerugian besar bagiku. Gadis sepertiku dapat diumpamakan sebagai barang dagangan yang tidak boleh mempunyai cacat.”

Jawaban Visakha ternyata mengesankan sekali orang suruhan Migara. Tambahan lagi, Visakha memang seorang gadis cantik yang memiliki Lima Kecantikan (Panca-Kalyani).

Mereka segera menyerahkan sebuah karangan bunga sebagai tanda pinangan untuk menikah. Visakha menerima baik karangan bunga tersebut dan orang suruhan Migara mengikuti Visakha pulang ke rumah orangtuanya. Oleh kedua orangtuanya, pinangan ini pun diterima dengan baik.

Sekarang harus dibuat persiapan untuk merayakan pernikahan Visakha. Raja Pasenadi sendiri berkenan untuk ikut dengan rombongan yang menyertai mempelai laki-laki pergi ke Saketa. Di tempat itu mereka berdiam selama empat bulan. Selama waktu itu, lima ratus pandai emas bekerja siang dan malam untuk membuat perhiasan yang dinamakan Mahalatapasadhana. Perhiasan itu terbuat dari emas dan ditabur dengan berlian, mutiara dan batu-batu permata lainnya. Perhiasan ini berat sekali dan hanya bisa dipakai oleh orang yang tenaganya kuat.

Pada hari pernikahan, Dhanajaya membekali putrinya dengan lima ratus pedati penuh dengan uang, lima ratus pedati penuh dengan emas, perak, tembaga, kain sutra, mentega, beras dan kacang-kacangan masing-masing lima ratus pedati. Alat meluku dan alat pertanian lainnya lima ratus pedati, lima ratus kereta dengan membawa tiga orang budak wanita tiap-tiap kereta disertai segala keparluan mereka. Di samping itu, juga ternak yang memenuhi lapangan seluas tiga per empat “league” panjangnya dan delapan “cambuk” lebarnya, yang berdiri berhimpit-himpitan ditambah dengan enam puluh ribu sapi jantan dan enam puluh ribu sapi perah. Masih ditambah lagi dengan perhiasan Mahalatapasadhana yang mahal sekali dengan disertai sepuluh pesan yang harus ditaati oleh Visakha selama berada di rumah suaminya.

Sepuluh pesan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Api dari dalam rumah tidak boleh dibawa ke luar rumah.
2. Api dari luar rumah tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah.
3. Hanya memberi kepada orang yang memberi.
4. Tidak memberi kepada orang yang tidak memberi.
5. Memberi kepada orang yang memberi dan juga kepada orang yang tidak memberi.
6. Kalau duduk, duduklah dengan tenang dan bahagia.
7. Kalau makan, makanlah dengan tenang dan bahagia.
8. Kalau tidur, tidurlah dengan tenang dan bahagia.
9. Harus menjaga baik api di rumah.
10. Harus menghormat dewa-dewa di rumah.
Selanjutnya Dhanajaya mengangkat delapan orang kepala keluarga yang terhormat untuk menjadi wali Visakha dan meneliti tiap dakwaan yang kelak mungkin akan dituduhkan terhadap tingkah laku anaknya.

Keesokan harinya Visakha beserta rombongan berangkat menuju ke Savatthi. Semua penduduk Savatthi keluar dari rumahnya untuk menyambut kedatangan Visakha dan mempersembahkan aneka ragam hadiah. Semua hadiah diterima baik oleh Visakha untuk kemudian dibagi-bagikan lagi kepada penduduk Savatthi yang kurang mampu.

Migara (mertua Visakha) adalah pengikut para pertapa Nigantha, yaitu pertapa yang hidup bertelanjang bulat. Tidak lama setelah Visakha berada di rumahnya, Migara mengundang para pertapa Nigantha datang ke rumahnya dan memerintahkan Visakha untuk melayaninya dengan baik Tetapi Visakha, yang jijik melihat mereka bertelanjang bulat, menolak untuk memberi hormat. Para pertapa Nigantha mendesak Migara untuk mengirim pulang Visakha, tetapi Migara ingin menunggu saat yang tepat.

Pada suatu hari, ketika Migara sedang makan dan Visakha berdiri di sampingnya sambil mengipasnya, seorang bhikkhu datang untuk mengumpulkan makanan dan berdiri di depan pintu. Visakha minggir sedikit agar Migara dapat melihat bhikkhu tersebut, tetapi Migara tidak memperdulikannya dan terus saja makan. Visakha kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut, “Jalan terus saja, Bhante, mertua saya sedang makan hidangan basi.”

Migara marah sekali dan mengancam untuk mengirim pulang Visakha ke rumah orangtuanya. Tetapi Visakha minta agar persoalan itu dibawa ke depan para walinya. Di hadapan para wali tersebut, Migara melontarkan beberapa dakwaan terhadap Visakha. Tetapi, setelah para wali meneliti dan mendengar segala keterangan dari yang bersangkutan dan para saksi, mereka berkesimpulan bahwa Visakha tidak bersalah.

Setelah itu, Visakha memberi perintah untuk membuat persiapan pulang ke rumah orangtuanya di Saketa. Tetapi kemudian Migara melihat kesalahannya dan merasa menyesal. Ia mohon maaf kepada Visakha dan permohonan ini diterima oleh Visakha dengan syarat, Migara harus mengundang Sang Buddha dan murid-Nya makan siang di rumahnya.

Waktu Sang Buddha dan para murid-Nya tiba, Migara lalu menyingkir pergi dan memerintahkan Visakha untuk melayani-Nya. Setelah selesai bersantap, Sang Buddha memberikan uraian Dhamma dan atas permintaan Visakha, Migara turut mendengarkan dari belakang tirai. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Migara memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapana. Oleh karena itu ia memperoleh tingkat Sotapana atas jasa Visakha, maka mulai hari itu ia menghormat Visakha sebagai ibunya dan mulai hari itu Visakha memperoleh nama baru, yaitu :”Migaramata” yang berarti “Ibu Migara”.

Sekarang Visakha bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana yang ia kehendaki. Setiap hari ia memberi makan kepada lima ratus orang bhikkhu.

Setiap sore ia datang ke vihara mengunjungi Sang Buddha dan setelah mendengarkan uraian Dhamma, pergi berkeliling dan mendatangi para bhikkhu dan bhikkhuni untuk menanyakan kebutuhannya.

Sewaktu-waktu ia diutus oleh Sang Buddha untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Beberapa aturan, seperti aturan yang mengharuskan para bhikkhuni memakai “baju mandi” kalau mandi, dikeluarkan atas saran Visakha.

Suatu hari Visakha mengunjungi Sang Buddha dan sebelum memasuki vihara ia membuka perhiasan Mahalatapasadhana yang dipakainya. Waktu pulang, pelayannya lupa untuk membawanya. Belakangan, waktu Visakha kembali untuk mengambilnya ternyata bahwa Ananda telah menyimpannya di ruang dalam. Visakha menolak untuk mengambilnya kembali, tetapi memerintahkan untuk menjualnya dan hasilnya digunakan untuk keperluan para bhikkhu. Tetapi, ternyata tidak ada orang yang mampu membelinya karena perhiasan itu memang sangat mahal harganya. Karena itu Visakha mengambil keputusan untuk membelinya sendiri dan uangnya digunakan untuk membuat sebuah vihara yang disebut Migaramatupasada di taman sebelah timur (Pubbarama) Savatthi.

Selama dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan Sang Buddha, kalau sedang berada di Savatthi, Beliau membagi waktu-Nya antara Jetavana dan Pubbarama, kalau siangnya berada di Jetavana, malamnya Beliau diam di Pubbarama atau sebaliknya.

Visakha mohon dan diberikan delapan “anugerah” oleh Sang Buddha, yaitu :

1. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberikan jubah kepada para bhikkhu yang selesai ber-vassa.
2. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang datang ke Savatthi.
3. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada para bhikkhu yang pergi dari Savatthi.
4. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada bhikkhu yang sakit.
5. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi makanan kepada mereka yang menjaga bhikkhu yang sakit.
6. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi obat kepada bhikkhu yang sakit.
7. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi beras untuk keperluan mendadak.
8. Selama hidupnya ia diperkenankan untuk memberi baju mandi kepada para bhikkhuni.
Visakha mempunyai sepuluh orang putra dan sepuluh orang putri, tiap putra dan putri kembali mempunyai dua puluh orang anak dan tiap cucunya kembali mempunyai dua puluh orang anak. Waktu Visakha meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun, Beliau mempunyai delapan ribu empat ratus dua puluh orang anak, cucu, dan cicit yang semuanya hidup. Meskipun sudah berusia lanjut, tetapi roman mukanya masih seperti gadis berumur enam belas tahun.

Visakha sangat terkenal sebagai orang yang dapat membawa keberuntungan. Oleh karena itu, penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha kalau mereka mengadakan pesta atau perayaan lain. Dengan sikapnya yang luhur, tingkah laku yang halus, ucapan yang ramah, menghormat kepada orang yang lebih tua dan kebaikan hatinya kepada semua orang, Visakha mendapat tempat yang mulia dalam hati mereka yang pernah mengenalnya.

Sebagaimana halnya dengan Anathapindika, Visakha pun mendapat gelar “Pemimpin dari para Dayika”. Dayika adalah seorang wanita yang menjadi penyokong Sang Buddha. Visakha diperkirakan lebih muda sedikit dari Anathapindika, karena adik perempuannya yang bungsu, Sujata, menikah dengan anak laki-laki dari Anathapindika, yaitu Kala.

Setelah meninggal dunia, Visakha bertumimbal lahir di surga Nimmanarati dan menjadi pelayan dari Raja Dewa Sunimmita.(Menurut Boddhaghosa, Visakha dan Anathapindika akan menikmati hidup bahagia di alam surga selama seratus tiga puluh satu kappa, sebelum akhirnya mereka mencapai Nibbana).
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Maha Pajapati Gotami

Pada tahun kedua setelah mendapat Penerangan Agung, Sang Buddha berdiam di Nigrodharama, Kapilavatthu, waktu itu Putri Pajapati Gotami, istri Raja Sudhodana menjadi seorang Sotapana, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Sang Buddha.

Tiga Tahun kemudian, pada tahun kelima Sang Buddha mendapat Penerangan Agung, Raja Suddhodana sakit keras. Sang Buddha, yang waktu itu berada di balairung Kutagarasala, Vesali, datang ke Kapilavatthu dengan terbang melalui udara. Raja Suddhodana kelihatannya sudah lemah sekali, Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada ayahnya yang berada di tempat tidur, di bawah payung kerajaan yang berwarna putih. Raja suddhodana mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan khotbah tersebut dan masih dapat menikmati berkah dan kedamaian Nibbana selama tujuh hari sebelum mangkat. Waktu itu Putri Pajapati sudah mengambil keputusan untuk menjadi bhikkhuni dan menunggu waktu yang tepat untuk mohon ditahbiskan oleh Sang Buddha.

Tidak lama kemudian timbul perselisihan antara negara Sakya dan negara Koliya perihal air Sungai Rohini, yang menjadi perbatasan antara kedua negara. Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu dan memberi nasehat kepada kedua belah pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa tersebut dengan berperang, tetapi sebaiknya sengketa tersebut diselesaikan melalui perundingan. Sesudah itu Sang Buddha menarik diri di Nigrodharama, Kapilavatthu.

Setelah sengketa tersebut dapat didamaikan, Sang Buddha kemudian memberikan uraian Dhamma yang dikenal sebagai Kalahavivadasutta. Setelah mendengar khotbah tersebut, lima ratus orang Sakya yang masih muda ditahbiskan menjadi bhikkhu.

Waktu inilah yang dianggap tepat oleh Putri Pajapati. Bersama-sama lima ratus wanita muda yang suaminya telah diterima menjadi bhikkhu, Putri Pajapati pergi ke Nigrodharama dan mohon agar mereka semua ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Permohonan ini tiga kali ditolak dan kemudian Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu kembali ke Vesali.

Tetapi Putri Pajapati dan lima ratus wanita muda itu tidak putus asa dan mengikuti perjalanan Sang Buddha ke Vesali, setelah terlebih dahulu memotong rambutnya dan memakai jubah kuning. Mereka mengikuti dengan berjalan kaki, sehingga waktu tiba di Vesali kaki mereka luka-luka dan bengkak serta badan penuh debu.

Ananda menemui para wanita tersebut yang sedang menangis di depan pintu dan kemudian meneruskan permohonan mereka untuk dapat diterima menjadi bhikkhuni. Kembali Sang Buddha menolak sampai tiga kali. Kemudian Ananda mengubah cara mengemukakannya dan bertanya,

“Kalau seorang wanita, oh Bhagava, dari kehidupan berkeluarga memasuki kehidupan seorang bhikkhuni dan menjalankan dengan tekun ajaran dan tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Tathagata, apakah mungkin orang itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami atau Arahat?”

“Seorang wanita dapat mencapainya, Ananda.”

“Kalau begitu, oh Bhagava, Maha Pajapati Gotami, bibi Sang Bhagava, telah besar pahalanya. Beliau adalah pengasuh-Nya, ibu tiri-Nya dan yang pernah memberikan-Nya air susu, waktu ibu-Nya sendiri meninggal dunia. Beliau mengasuh dan menyusui-Nya dari dadanya sendiri. Karena itu, oh Bhagava, alangkah baiknya wanita itu dapat diterima menjadi bhikkhuni.”

“Kalau, Ananda, Maha Pajapati bersedia menerima delapan “aturan keras” (Garudhamma), maka Beliau dapat ditahbiskan.”

Kemudian Ananda diberitahukan tentang delapan “aturan keras” tersebut :

1. Seorang bhikkhuni, meskipun sudah ditahbiskan selama seratus tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempat duduknya, memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Dan aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalankan vassa di tempat, di mana tidak terdapat seorang bhikkhu. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

3. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari Sangha para bhikkhu, yaitu (tanggal dan) hari untuk melakukan latihan dan hari untuk mendapatkan nasehat-nasehat (teguran-teguran). Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

4. Setelah vassa, seorang bhikkhuni harus mohon kepada Sangha para bhikkhu dan Sangha para bhikkhuni untuk mendapat teguran dan peringatan tentang apa yang dilihat, didengar, dan dicurigai. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

5. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya di Sangha para bhikkhu dan di Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

6. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang calon bhikkhuni harus mohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni dari Sangha para bhikkhu dan dari Sangha para bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

7. Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci-maki atau dihina dengan cara apa pun juga oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

8. Mulai hari ini seorang bhikkhuni dilarang memperingati (menegur) seorang bhikkhu, sebaliknya seorang bhikkhu tidak dilarang untuk memperingati (menegur) seorang bhikkhuni. Aturan ini pun harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

Setelah itu Ananda pergi menemui Maha Pajapati dan memberitahukan tentang delapan “aturan keras’ tersebut yang harus diterima, sebelum ia dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni.

Dengan gembira Maha Pajapati menerima delapan “aturan keras” tersebut dan kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhuni pertama. Setelah ditahbiskan, Maha Pajapati memberi hormat kepada Sang Buddha dan kemudian berdiri di satu sisi. Sang Baghava memberikan uraian Dhamma dan kemudian memberikan kepadanya obyek untuk melakukan meditasi (Kammatthana). Beliau melatihnya dengan tekun dan tidak lama kemudian mencapai tingkat Arahat.

Pengikut Maha Pajapati yang berjumlah lima ratus orang juga ditahbiskan menjadi bhikkhuni dan kemudian setelah mendengarkan Nandakovadasutta, semuanya mencapai tingkat Arahat.

Dengan demikian berdirilah Bhikkhuni Sangha yang dipimpin oleh Maha Pajapati Gotami dan berkembang terus di desa-desa, kota-kota, dan bahkan di istana raja-raja. Yasodhara (ibu Rahula) dan Rupananda (anak Maha Pajapati) juga turut memasuki Bhikkhuni Sangha.

Pada satu kesempatan di hadapan Bhikkhu Sangha dan Bhikkhuni Sangha, Sang Buddha menyatakan bahwa Maha Pajapati adalah pemimpin dari para bhikkhuni yang terkemuka (Rattannu). Yasodhara, yang sewaktu-waktu juga disebut sebagai Rahulamatta, Bimba, Bimbadevi, Bhaddakacca adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan gaib (Mahabhinnappatta) dan Rupananda adalah yang terkemuka dari mereka yang memiliki kekuatan meditasi (Jhayi). Dalam bhikkhuni Sangha pun terdapat dua orang murid utama, yaitu Khema dan Uppalavanna, sebagaimana Sariputta dan Moggallana menjadi murid utama dalam Bhikkhu Sangha.

Kemudian sewaktu Maha Pajapati sedang berada di Vesali, Beliau mengetahui bahwa hidupnya di dunia ini sudah tidak lama lagi. Beliau pamit dari Sang Buddha dan meninggal dunia pada usia seratus dua puluh tahun.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Cinca-manavika

Pada tahun ke tujuh setelah mendapat Penerangan Agung, waktu itu kemasyhuran Sang Buddha mencapai titik tertinggi dan waktu itu pula golongan pertapa yang merasa terdesak hebat, berusaha untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan seorang wanita bernama Cinca-manavika yang melancarkan fitnahan keji terhadap diri Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Para pertapa dari golongan Paribbajika merasa sangat terdesak dengan adanya Sang Buddha yang semakin lama semakin masyhur namanya. Karena itu, mereka merencanakan satu tipu muslihat untuk menjatuhkan nama Sang Buddha dengan menggunakan Cinca sebagai umpan. Cinca adalah seorang wanita cantik yang banyak akalnya. Wanita ini dibujuk oleh para pertapa dari golongan Paribbajika untuk pura-pura mengunjungi Sang Buddha di vihara Jetavana.

Pada suatu malam, Cinca pergi ke vihara Jetavana dan sengaja berjalan di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh khalayak ramai. Malam itu ia tidur di emper vihara dekat kamar Sang Buddha. Pagi harinya ia berjalan meninggalkan vihara dan juga dilihat oleh banyak orang. Ketika ditanya, Cinca menjawab bahwa ia tadi malam tidur bersama-sama Sang Buddha.

Beberapa bulan kemudian dengan berpura-pura hamil (ia mengikat sepotong kayu di bagian perutnya) Cinca pergi mengunjungi Sang Buddha yang sedang berkhotbah di hadapan umat. Ketika itulah Cinca dengan tiba-tiba membuat onar dengan menuduh Sang Buddha sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tebal muka karena tidak mau memberi bekal untuk persalinannya.

Mendengar tuduhan itu, Sang Buddha tidak berkata apa-apa dan hanya diam saja. Tetapi Dewa Sakka menjadi marah sekali. Beliau memerintahkan seekor tikus untuk menggigit tali yang mengikat kayu di sekitar perut Cinca.

Tali itu putus dan kayu menimpa jari kaki Cinca hingga terluka. Khalayak ramai lalu menyeretnya ke luar Vihara. Waktu kakinya menginjak tanah di luar pagar vihara, kakinya terus amblas dan seluruh badannya masuk ke tanah untuk kemudian terlahir di alam neraka.

Waktu Sang Buddha kemudian ditanya, mengapa Beliau sampai mendapat fitnahan seperti itu, Beliau menerangkan bahwa itu adalah akibat dari perbuatan-Nya juga, yaitu bahwa dalam salah satu kehidupannya yang lamapu, Beliau pernah mencaci-maki seorang Pacceka Buddha. Jadi saat ini Beliau difitnah adalah akibat dari perbuatan-Nya yang tersebut di atas.

Di kemudian hari terjadi lagi fitnahan yang serupa oleh seorang wanita bernama Sundari, didalangi oleh golongan pertapa Paribbajika yang masih penasaran. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Seorang wanita bernama Sundari dibujuk oleh para pertapa Paribbajika untuk memperlihatkan diri sedang pergi ke Jetavana dengan berdandan rapi dan memakai wangi-wangian, dan membawa buah-buahan dan beberapa barang lain lagi. Kalau ada yang menegur ia harus menjawab bahwa ia akan menemui Sang Buddha dan akan bermalam di kamarnya. Tetapi sebenarnya, ia hanya melewati saja kamar Sang Buddha dan pergi bermalam di vihara kaum Paribbajika yang berdekatan. Besok pagi-pagi sekali ia harus kembali dan supaya dilihat orang banyak berjalan dari jurusan Jetavana. Beberapa hari kemudian para pertapa tersebut memberi upah kepada beberapa orang bajingan untuk membunuh Sundari dan menyembunyikan mayatnya di tempat sampah dekat Jetavana.

Setelah Sundari dibunuh, dengan menangis mereka menghadap Raja Pasenadi untuk melaporkan tentang hilangnya Sundari. Pencarian kemudian dilakukan oleh petugas-petugas raja dan tidak lama kemudian mereka menemukan mayat Sundari di dekat Gandhakuti (kamar) Sang Buddha.

Dengan menggotong mayat Sundari di atas sebuah usungan, mereka mengaraknya melewati jalan-jalan di kota sambil meneriakkan tuduhan, “Hal ini kami berterima kasih kepada bhikkhu-bhikkhu dari suku Sakya!”

Akibatnya, para bhikkhu yang mengumpulkan makanan dihina habis-habisan oleh penduduk kota. Selama tujuh hari Sang Buddha diam saja di kamar-Nya dan tidak pergi ke kota untuk mengumpulkan makanan, sehingga Ananda mengusulkan untuk pindah saja ke kota lain. Tetapi Sang Buddha menolak usul tersebut dan mengatakan bahwa merupakan satu kesalahan besar untuk pergi menyingkir ke tempat lain hanya atas dasar laporan palsu. Kemudian Beliau mengatakan bahwa dalam tujuh hari persoalan ini sudah dapat dijernihkan.

Setelah mayat Sundari ditemukan di dekat Gandhakuti Sang Buddha, Raja Pasenadi tidak mau menerima begitu saja tuduhan atas diri Sang Buddha.

Raja lalu mengirim banyak petugas ke seluruh penjuru untuk menyelidiki dengan cermat, siapa sesungguhnya yang menjadi pembunuh Sundari.

Di suatu kedai arak, seorang penyelidik mendengar beberapa orang yang terlalu banyak minum arak sedang bertengkar tentang pembagian upah membunuh Sundari. Mereka segera ditangkap dan dibawa menghadap Raja Pasenadi. Di depan Raja, mereka mengakui perbuatan mereke membunuh Sundari atas suruhan para pertapa Paribbajika. Raja kemudian memerintahkan petugas menangkap para pertapa Paribbajika. Setelah diperiksa, akhirnya para pertapa ini mengakui semua perbuatan mereka dan menarik kembali tuduhan palsu yang pernah mereka lontarkan terhadap diri Sang Buddha. Kemudian mereka dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Ketika Sang Buddha kemudian ditanya mengenai peristiwa tersebut, Beliau menceritakan kisah di bawah ini :

“Ketika itu Sang Bodhisatta bernama Munali dan terkenal sebagai orang yang senang berfoya-foya. Pada suatu hari ia melihat Surabhi (seorang Pacceka Buddha) sedang memakai jubahnya di sebelah luar tembok kota, sedangkan di dekatnya berjalan seorang wanita. Secara senda gurau, Munali mengeluarkan kata-kata, ‘Lihat, pertapa ini bukanlah orang yang hidup membujang, tetapi ia sebenarnya adalah seorang cabul.’ Akibat dari ucapan yang salah inilah yang membuat Sang Buddha dalam kehidupan ini mendapat fitnahan dari Sundari.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Angulimala

Pada tahun ke dua puluh setelah mendapat Peneragan Agung, Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Angulimala. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Angulimala adalah anak seorang penasehat raja negara Kosala. Ayahnya bernama Bhaggava dan ibunya Mantani. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Hari ia dilahirkan, semua senjata di seluruh negeri, termasuk yang ada di istana, mengeluarkan cahaya gemerlapan. Raja menjadi takut sekali dan keesokan harinya memanggil penasehatnya untuk ditanyakan tentang sebab mengapa semua senjata mengeluarkan cahaya.

Bhaggava menjawab, “Istriku baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, Baginda.”

Raja Kosala bertanya, “Tetapi, mengapa senjata-senjata itu lalu mengeluarkan cahaya gemerlapan?”

“Baginda, anakku itu kelak akan menjadi seorang penyamun, seorang penyamun yang luar biasa.”

Kembali Raja bertanya, “Apakah ia akan merampok seorang diri atau dengan berkawan?”

Bhaggava menjawab, “ Ia akan bekerja seorang diri, Baginda.”

Raja kemudian berkata, “Kalau begitu, kenapa kita tidak sekarang saja membunuhnya?”

Bhaggava menjawab, “Karena ia akan bekerja seorang diri, maka kita akan dengan mudah dapat menangkapnya.”

Ketika Ahimsaka mencapai umur untuk bersekolah, maka ayahnya mengirimnya ke sebuah sekolah di Takkasila. Ahimsaka merupakan murid yang terkuat, terpintar dan juga yang terpatuh dari semua murid di sekolah tersebut.

Karena itu anak-anak yang lain merasa iri hati kepada Ahimsaka.

Mereka sedikit demi sedikit menghasut guru mereka, sehingga akhirnya guru tersebut juga membenci Ahimsaka.

Setelah selesai belajar di sekolah tersebut, gurunya memanggil Ahimsaka dan berkata, “Sekarang engkau sudah tamat belajar di sekolah ini, tetapi sebelum engkau pulang, terlebih dahulu engkau harus membayar uang sekolah kepadaku.”

“Berapakah yang harus kubayar, Guru?”

“Engkau tidak usah membayar dengan uang. Cukup, jika engkau memberiku seribu buah jari tangan kanan manusia,” jawab gurunya.

Meskipun hal ini sangat sulit sekali, namun sebagai murid yang sangat patuh, Ahimsaka berjanji kepada gurunya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh gurunya. Sebelum pergi, gurunya kembali berpesan, “Ingat, jangan membawa dua buah jari tangan dari orang yang sama.”

Sampai hari itu Ahimsaka belum pernah menyakiti orang lain dan karena itu ia tidak tahu bagaimana harus memotong jari orang. Karena ingin mematuhi perintah gurunya, maka Ahimsaka membawa pedangnya dan pergi ke hutan Jalini di negara Kosala. Di hutan itu ia mencegat para pelancong yang lewat, membunuhnya dan mengambil jari tangan kanannya. Sesudah itu ia membuat kalung dari jari-jari tersebut dan menggantung kalung itu di lehernya. Karena kalung dari jari-jari tersebut, ia kemudian mendapat nama baru sebagai Angulimala (Anguli = jari, mala = kalung).

Sekarang Angulimala menjadi seorang pembunuh yang kejam yang ditakuti. Kalau ingin melewati hutan Jalini, para pedagang atau pelancong jalan berkelompok, berdua, berempat, bersepuluh, berdua puluh, dan bertiga puluh. Tetapi, begitu mereka mendengar, “Aku Angulima, jangan lari!” Mereka menggigil dan gemetaran, dan tidak dapat melarikan diri lagi. Dengan mudah Angulimala membunuh orang-orang tersebut dan memotong jari tangan kanannya. Karena itu tidak ada lagi orang yang berani lewat hutan tersebut.

Angulimala kemudian memindahkan tempat kerjanya dan di tempat yang baru ia kembali mencegat dan membunuh orang yang lewat.

Karena itu, Raja Kosala mempersiapkan tentara yang besar untuk menangkap Angulimala. Ibunya, Mantani, mendengar tentang persiapan yang dilakukan Raja Kosala, ia berkata kepada suaminya, “Anak kita yang tercinta sekarang telah menjadi seorang pembunuh. Sekarang Raja sedang membuat persiapan untuk menangkap dan membunuhnya. Apakah kamu tidak dapat pergi menemui anak kita dan membujuknya supaya berhenti membunuh?”

“Istriku tercinta, anak itu sekarang sudah terlalu ganas. Ia mungkin sudah berubah seluruhnya dan kalau aku pergi menemuinya, mungkin aku pun akan dibunuhnya. Aku tidak mau mati percuma.”

Tetapi ibunya adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya dan mempunyai hati yang baik. Apalagi ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri. Ia pikir, “Aku harus pergi seorang diri ke hutan untuk menyelamatkan anakku.” Kemudian ia berjalan pergi ke hutan dengan membawa bekal makanan seperlunya.

Ketika itu Angulimala sudah membunuh 999 orang. Berbulan-bulan lamanya ia berada di hutan tanpa memperoleh cukup makanan, tidur, mandi, dan pakaian yang bersih. Badannya sudah berbau busuk. Ia benci sekali dengan hidup seperti itu. Tetapi bagaimana pun juga, ia masih harus membunuh seorang lagi untuk memenuhi permintaan gurunya berupa seribu buah jari tangan kanan manusia.

Ia berpikir, “Sekarang, meskipun ibuku sendiri yang datang, aku akan membunuhnya, memotong jari tangannya untuk mencukupi jumlah seribu yang diminta guruku.”

Pagi hari itu, sebagaimana biasa, Sang Buddha melihat ke seluruh penjuru dunia untuk mencari orang yang mungkin dapat ditolong-Nya dalam bidang kerohanian. Ketika itu Sang Buddha melihat Angulimala, yang meskipun sudah jemu dengan perbuatan membunuh dan ingin kembali menjadi orang yang baik, masih kekurangan satu orang lagi yang akan dijadikan korban. Dan korban terakhir ini justru adalah ibunya sendiri.

Karena merasa kasihan, Sang Buddha lalu bertekad untuk menolong Angulimala, ibunya dan juga khalayak ramai. Karena itu, dengan membawa mangkuk-Nya Sang Buddha berjalan menuju ke hutan tempat Angulimala bersembunyi menunggu mangsanya yang terakhir.

Penduduk desa yang melihat Sang Buddha berjalan menuju hutan, berusaha mencegah-Nya dengan mengatakan,

“Bhikkhu, sebaiknya Anda jangan pergi ke hutan itu. Di sana bersembunyi seorang penyamun yang bernama Angulimala. Ia telah membunuh ratusan orang. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan jahat. Ia juga pasti akan membunuh Anda. Banyak orang yang sudah meninggalkan rumah dan desanya, sedangkan kami sendiri hari ini juga akan meninggalkan tempat ini, sebab siapa tahu mungkin saja hari ini ia akan datang ke tempat ini. Karena itu, sebaiknya Anda jangan berjalan terus. Kembalilah sekarang juga ke tempat dari mana Anda datang.”

Mereka menasehati Sang Buddha sampai tiga kali. Tetapi Sang Buddha hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan-Nya memasuki hutan.

Ketika itu ibu Angulimala sudah terlebih dahulu memasuki hutan. Angulimala melihat ibunya datang dan berpikir, “Alangkah kasihannya wanita ini. Ia datang seorang diri. Aku memang kasihan kepadanya, tetapi apa yang dapat aku lakukan? Aku harus memegang janjiku dan membunuhnya.”

Ia menghunus pedangnya dan berlari mendekati ibunya. Tiba-tiba Sang Buddha berdiri di antara Angulimala dan ibunya. Angulimala berpikir, “Baik juga pertapa ini berdiri di depan ibuku. Dengan demikian aku tidak usah membunuh ibuku. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi membunuh pertapa ini dan memotong jari tangannya.”

Dengan pedang terhunus, ia berlari mendekati Sang Buddha. Sang Buddha berjalan saja dengan tenang. Angulimala berlari-lari untuk menyergap dan membunuh Sang Buddha, tetapi meskipun badannya penuh dengan keringat ia tetap tak dapat menyentuh badan Sang Buddha yang sedang berjalan dengan tenang. Angulimala kemudian menjadi letih, sehingga semua sendi-sendinya merasa sakit sekali dan tidak kuat lagi untuk berlari. Ia berpikir, “Tidak pernah aku seletih ini, meskipun dulu aku berlari-lari menangkap gajah, kuda, kereta perang, rusa atau binatang lainnya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan. Aneh sekali aku tak dapat mengejar pertapa ini.”

Kemudian ia berteriak, “Hai berhenti, berhenti Bhikkhu!”

Sang Buddha menjawab, “Aku berhenti, Angulimala! Tetapi, apakah engkau sendiri berhenti?”

Angulimala tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha dan berpikir, “Seorang bhikkhu tidak boleh bohong. Bhikkhu ini, meskipun berjalan lebih cepat dari aku, mengatakan bahwa ia berhenti. Aku sekarang memang sangat letih. Tentu ada maksud tertentu dalam ucapan tersebut.”

Kemudian ia bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana Anda mengatakan berhenti, padahal Anda berlari lebih cepat dari Aku?”

Sang Buddha mengucapkan syair seperti di bawah ini :

“Sebagaimana biasa, Angulimala, Aku berhenti,
Karena Aku berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup,
Tetapi kamu tidak mempunyai belas kasihan terhadap makhluk hidup,
Karena itu Aku berhenti dan kamu tidak berhenti.”


Angulimala rupanya sangat terkesan dengan syair yang diucapkan Sang Buddha. Ia membuang pedangnya dan berlutut di hadapan Sang Buddha.

Sang Buddha memberi berkah dan kemudian mengajaknya pergi ke vihara. Di vihara ia ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ibu Angulimala yang menyaksikan seluruh peristiwa ini dari dekat, merasa kagum sekali kepada Sang Buddha, yang dalam waktu demikian singkat dapat menaklukkan Angulimala dan mengubahnya menjadi orang yang baik.

Raja Kosala, sebelum memasuki hutan untuk menangkap Angulimala, terlebih dulu datang mengunjungi Sang Buddha untuk mohon restu Beliau. Ia datang berkunjung dengan membawa lima ratus orang prajurit berkuda.

Sang Buddha bertanya, “Oh, Baginda Yang Agung, apakah Baginda mendapat kesukaran? Apakah Raja Bimbisara menyatakan perang kepada Anda atau Pangeran dari Licchavi atau mungkin dari kerajaaan lain?”

“Bukan, Yang Mulia. Ada seorang penyamun yang ganas sekali di kerajaanku. Namanya Angulimala. Aku hendak pergi menangkapnya,” jawab Raja Kosala.

Sang Buddha lalu berkata, “Oh, Baginda Yang Agung. Umpamanya Baginda melihat Angulimala sekarang sudah bercukur gundul, memakai jubah kuning, meninggalkan kehidupan sebagai seorang penyamun dan berhenti membunuh, apakah yang Baginda akan lakukan?”

Raja Kosala menjawab, “Kalau demikian halnya, aku akan berlutut di hadapannya.”

Kemudian Sang Buddha memanggil Angulimala untuk keluar. Ketika Angulimala memasuki ruangan, semua prajurit raja melarikan diri, tetapi dicegah oleh Sang Buddha. Setelah itu Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma.

Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, Angulimala diserang oleh orang-orang yang sedang berkelahi. Sang Buddha kemudian memberitahukan Angulimala agar jangan mempunyai rasa dendam dan harus menganggap kejadian ini sebagai hukuman atas kejahatan yang pernah ia lakukan. Setelah berlatih dengan tekun, Angulimala kemudian mencapai tingkat Arahat.

Dikisahkan sewaktu Angulimala sudah mencapai tingkat Arahat, ia mendengar seorang wanita sedang merintih-rintih kesakitan waktu hendak bersalin. Hal ini menggugah hatinya, sehingga ia berkeinginan menolong wanita tersebut. Sewaktu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha dan menanyakan cara untuk menolong penderitaan tersebut, Sang Buddha memberinya petunjuk untuk memberi wanita itu air, setelah terlebih dahulu dibacakan kalimat-kaimat. :

“Yatoham bhagini ariyaya,
Jatiya jato
Nabhijanami sancicca
Panam jivita voropeta
Tena saccena sotthi te
Hotu sotthi gabbhassa.”

Yang berarti :
“Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya
Aku tidak ingat dengan sengaja
Membunuh suatu makhluk hidup
Dengan pernyataan yang benar ini, semoga Anda
Dan bayi dalam kandungan selamat.”
Dan benar saja, setelah diberi air tersebut, wanita itu segera bersalin dengan selamat. Sampai hari ini kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai Angulimala-sutta dan dipakai untuk membuat air guna memudahkan persalinan.

Penaklukan Angulimala sering kali dicatat sebagai satu dari sekian banyak perbuatan Sang Buddha yang menolong manusia karena rasa belas kasih yang sangat besar terhadap umat manusia.

Kisah ini pun dapat dipakai sebagai contoh untuk membuktikan bahwa kamma (perbuatan) baik yang orang lakukan dapat memusnahkan kamma buruk yang pernah ia lakukan. Demikianlah kisah mengenai Angulimala.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Devadatta

Delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. Ketika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil-alih pimpinan Sangha dari Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.

Devadatta ditahbiskan menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Ananda, Bhagu, Kimbila, Bhaddiya, Anuruddha dan Upali di Anupiya, sewaktu Sang Buddha dalam perjalanan dari Kapilavatthu menuju Rajagaha, pada tahun ketiga setelah memperoleh Penerangan Agung.

Pada vassa berikutnya, Devadatta berhasil memperoleh Puthujjanika-iddhi, yaitu kekuatan gaib tertinggi yang dapat dicapai oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian. Untuk beberapa waktu lamanya, Devadatta mendapat tempat terhormat dalam Sangha, bahkan Sang Buddha sendiri pernah memujinya sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib yang tinggi. Tetapi di kemudian hari, Devadatta mempunyai maksud yang tidak baik terhadap Sang Buddha karena ia merasa iri atas kemasyhuran Sang Buddha.

Pertama, ia mencoba untuk mempengaruhi Pangeran Ajatasattu. Ia bersalin rupa menjadi anak kecil dengan memakai kalung dari beberapa ekor ular. Tiba-tiba ia jatuh diatas pangkuan Ajatasattu, sehingga membuat Ajatasattu ketakutan. Kemudian anak kecil itu lenyap dan Devadatta berdiri di depan Ajatasattu. Peristiwa tersebut memberi kesan yang dalam sekali di hati Ajatasattu, sehingga Beliau sangat menghormat pada Devadatta.

Tiap pagi dan petang hari, Ajatasattu mengunjungi Devadatta dengan diiringi lima ratus kereta, di samping memberikan lima ratus piring makanan setiap hari. Kejadian ini menggembirakan sekali hati Devadatta, sehingga timbul niat jahatnya untuk mengambil alih kedudukan Sang Buddha sebagai Ketua Sangha.

Seorang murid Mogallana, yang bertumimbal lahir sebagai Manomayakayikadeva, mengetahui niat jahat Devadatta tersebut dan memberitahukan kepada Moggallana. Moggallana menceritakan hal tersebut kepada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa persoalan itu tidak perlu dibicarakan sekarang, karena kelak sebelum waktunya, Devadatta akan membocorkannya sendiri.

Tidak lama kemudian, di hadapan pertemuan para bhikkhu, Devadatta mohon kepada Sang Buddha agar Sang Buddha menunjuknya sebagai Ketua Sangha, berhubung Sang Buddha sekarang sudah lanjut usianya. Atas permohonan itu Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan mengalihkan Pimpinan Sangha kepada Sariputta atau Moggallana, maka mustahil Aku akan mengalihkannya kepada engkau, seorang yang hina-dina.”

Pada waktu itulah Ajatasattu dihasut oleh Devadatta untuk membunuh ayahnya, sedangkan ia sendiri akan membunuh Sang Buddha.

Ajatasattu menyetujui dan memerintahkan beberapa orang pemanah istana untuk membantu Devadatta membunuh Sang Buddha. Para pemanah istana tersebut ditempatkan di berbagai tempat dan diatur sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada seorang pun yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Tetapi, saat Sang Buddha mendekati pemanah pertama yang harus membunuhnya, pemanah tersebut demikian terpesona dengan keagungan Sang Buddha, sehingga seluruh badannya menjadi kaku. Sang Buddha menegurnya dengan kata-kata yang ramah tamah, sehingga pemanah tersebut membuang panahnya dan mengaku kepada Sang Buddha, apa yang sebenarnya menjadi tugasnya.

Sang Buddha memberikan uraian Dhamma kepada orang tersebut dan kemudian menyuruhnya pulang dengan mengambil jalan tertentu. Kawan-kawannya yang letih menunggu, kemudian satu per satu meninggalkan tempat penjagaannya.

Mereka semua datang ke tempat Sang Buddha, karena tertarik oleh kekuatan gaib dari Sang Buddha. Sewaktu mereka sudah berkumpul, Sang Buddha lalu memberikan uraian Dhamma kepada para pemanah tersebut. Pamanah yang pertama pergi melapor kepada Devadatta dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup membunuh Sang Buddha, karena Sang Buddha mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa tingginya.

Devadatta lalu mengambil keputusan untuk membunuh sendiri Sang Buddha. Suatu hari, sewaktu Sang Buddha sedang berjalan di lereng Gunung Gijjhakuta, ia mendorong sebuah batu besar yang dimaksudkan untuk menimpa mati Sang Buddha. Tiba-tiba dua tonggak besar muncul dari dalam tanah untuk menahan jatuhnya batu tersebut.

Meskipun demikian, pecahan batu tersebut masih dapat melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian diusungkan ke Ambavana, yaitu tempat tabib Jivaka untuk mendapat pengobatan seperlunya. Setelah kejadian ini, siang dan malam para murid-Nya menjaga tempat tinggal Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa hal tersebut tidak perlu, berhubung tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu membunuh seorang Buddha.

Setelah usahanya kembali gagal, Devadatta lalu membujuk seorang pawang gajah untuk melepaskan seekor gajah (yang terlebih dahulu dibuat mabuk dengan memberinya minuman arak) di jalan yang akan dilalui Sang Buddha. Gajah itu besar dan buas dan terkenal dengan nama Nalagiri.


Dengan cepat berita ini tersiar dan Sang Buddha pun diberitahu. Namun Sang Buddha menolak untuk membatalkan perjalanan-Nya. Sewaktu gajah mabuk tersebut dilepas dan memburu ke arah Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya antara Sang Buddha dan gajah dengan maksud untuk melindungi dan menjadi tameng dari Guru Junjungannya, meskipun terlebih dahulu telah dipesan dan diperingati dengan keras oleh Sang Buddha untuk tidak berbuat apa-apa. Hanya dengan menggunakan “iddhi”, yaitu dengan membuat bumi mengerut, Sang Buddha berhasil berada di depan Ananda dan dengan pancaran cinta kasih dapat menjinakkan kembali gajah tersebut.

Setelah ketiga usahanya gagal semua, Devadatta kemudian berusaha untuk memecah belah Sangha. Ia minta kepada Sang Buddha untuk menyetujui bahwa semua bhikkhu harus mentaati peraturan seperti di bawah ini :

1. Semua bhikkhu harus tinggal di hutan.
2. Semua bhikkhu tidak boleh menerima undangan makan di rumah umat, tetapi mereka hanya boleh makan makanan yang diperoleh dengan jalan minta-minta.
3. Semua bhikkhu harus memakai jubah dari kain bekas pembungkus mayat dan tidak boleh menerima persembahan jubah dari umat.
4. Di hutan, semua bhikkhu harus tidur di bawah pohon dan tidak boleh tidur di dalam rumah.
5. Semua bhikkhu dilarang keras makan daging dan ikan.

Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu yang ingin mengikuti peraturan tersebut boleh melakukannya, kecuali “tidur di bawah pohon” selama musim hujan. Tetapi Beliau menolak untuk membuat peraturan ini berlaku bagi semua bhikkhu.

Penolakan ini membuat Devadatta gembira karena sekarang ia mempunyai alasan untuk menyebarluaskan berita bahwa Sang Buddha dan murid-murid-Nya masih terlalu terikat kepada kemewahan dan kehidupan yang serba cukup. Meskipun sudah diperingati oleh Sang Buddha tentang akibat yang menyedihkan untuk orang yang memecah belah Sangha, namun Devadatta memberitahukan Ananda bahwa ia akan mengadakan pertemuan Uposatha tersendiri tanpa dihadiri oleh Sang Buddha. Devadatta berhasil membujuk lima ratus orang bhikkhu yang baru ditahbiskan untuk menyertainya pergi ke Gayasisa.

Di antaranya terdapat bhikkhuni Thullananda yang terus-menerus memuji Devadatta dan seorang dari suku Sakya bernama Dandapani.

Sang Buddha kemudian memerintahkan Sariputta dan Moggallana pergi ke Gayasisa untuk bicara dengan para bhikkhu yang terkena bujukan.

Ketika Sariputta dan Moggallana tiba di Gayasisa, mereka diterima dengan gembira oleh Devadatta, sebab Devadatta mengira bahwa Sariputta dan Moggallana berdua juga ingin bergabung dengannya.

Malam itu Devadatta berkhotbah sampai larut malam. Waktu merasa sudah letih sekali, Devadatta minta Sariputta untuk meneruskan khotbahnya, sedangkan ia sendiri pergi tidur. Sariputta berkhotbah di depan para bhikkhu dan menerangkan bahwa Devadatta sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sang Buddha. Pada akhir khotbahnya, lima ratus orang bhikkhu tersebut bersedia kembali kepada Sang Buddha dan meninggalkan Devadatta bersama-sama Sariputta dan Moggallana.

Pengikut Devadatta yang setia, Kokalika, membangunkan Devadatta dari tidurnya dan menceritakan apa yang telah terjadi.

Mendengar berita tersebut, Devadatta muntah darah dan kemudian sakit keras selama sembilan bulan.

Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha.

Keitka berita itu disampaikan kepada Sang Budda, Beliau mengatakan bahwa hal itu tidaklah mungkin dalam kehidupan ini.

Devadatta dibawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavana, ia minta rombongannya berhenti sebentar karena ia ingin membersihkan badan terlebih dahulu di sebuah telaga yang terdapat di pinggir jalan.

Sewaktu turun dari usungan dan kakinya menyentuh tanah, tanah itu membuka dan ia terjerumus masuk ke dalam tanah. Ketika ia hampir hilang masuk ke dalam tanah, ia masih sempat menyatakan bahwa ia hanya mencari perlindungan kepada Sang Buddha.

Ia masuk ke neraka Avici dan akan berada di alam tersebut selama seratus ribu kappa untuk kemudian lahir kembali ke dunia dan menjadi seorang Pacceka Buddha.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Tempat Peristirahatan Yang Terakhir

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “Mari, Ananda, kita pergi ke hulu Sungai Hirannavati, ke kebun pohon Sala dari suku Malla, di dekat Kusinara.”

“Baik, Bhante.”

Dan Sang Bhagava, bersama-sama dengan sejumlah besar bhikkhu, pergi ke hulu Sungai Hirannavati, ke kebun pohon Sala dari suku Malla, di dekat Kusinara. Dan di tempat itu Beliau berkata kepada Ananda, “Ananda, harap engkau mempersiapkan satu dipan untuk-Ku di antara pohon Sala yang kembar, dengan kepala menghadap ke Utara. Aku sangat letih, Ananda, dan ingin berbaring.”

“Baik, Bhante.” Dan Ananda mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Sang Bhagava.

Sang Bhagava lalu berbaring pada sisi kanan-Nya, dalam sikap seperti seekor singa, dengan meletakkan satu kaki di atas kaki yang lain, dan dengan penuh kesadaran memusatkan pikiran-Nya.

Pada saat itu pohon Sala kembar tersebut tiba-tiba penuh dengan bunga, meskipun waktu itu bukan musimnya ia berbunga. Dan bunga-bunga jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Bhagava sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Dan bunga Pohon Karang serta serbuk kayu cendana yang wangi semerbak jatuh betebaran dari langit ke atas tubuh Sang Tathagata dan menaburi tubuh Beliau sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Sedangkan di udara terdengar suara musik surga yang merdu, juga untuk memberi penghormatan kepada Sang Tathagata.

Dan Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “Pohon Sala kembar sekarang sedang penuh dengan bunga, meskipun waktu ini bukan musimnya ia berbunga. Dan bunga-bunga jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Bhagava sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Dan bunga Pohon Karang serta serbuk kayu cendana yang wangi semerbak jatuh betebaran dari langit ke atas tubuh Sang Tathagata dan menaburi tubuh Beliau sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Sedangkan di udara terdengar suara musik surga yang merdu, juga untuk memberi penghormatan kepada Sang Tathagata.

Namun demikian, Ananda, bukan itulah caranya memberikan penghormatan, penghargaan, pemujaan tertinggi kepada Sang Tathagata. Tetapi, Ananda, bilamana seorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka dan upasika berpegang teguh kepada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertindak-tanduk sesuai dengan petunjuk Dhamma, maka orang itulah yang sesungguhnya memberikan penghormatan, penghargaan dan pemujaan tertinggi kepada Sang Tathagata. Oleh karena itu, Ananda, “Berpegang teguhlah kepada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma dan bertindak-tanduk sesuai dengan petunjuk Dhamma!” Dengan cara demikianlah engkau harus melatih dirimu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Duka Cita Para Dewa

Waktu itu Bhikkhu Upavana berdiri di depan Sang Bhagava dan mengipasi Beliau. Tiba-tiba Sang Bhagava menegurnya, “Minggirlah Bhikkhu, jangan berdiri di depan-Ku.”

Ananda yang mendengar teguran tersebut lalu berpikir, “Bhikkhu Upavana sejak lama melayani Sang Bhagava, akrab dengan Beliau dan biasa mengurus keperluan Beliau. Namun sekarang, tepat pada saat Sang Bhagava ingin mengakhiri hidup-Nya, Beliau memberikan teguran kepada Bhikkhu Upavana. Apakah sebabnya dan apakah alasannya, sehingga Sang Bhagava menegur Bhikkhu Upavana dengan mengucapkan kata-kata, “Minggirlah Bhikkhu, jangan berdiri di depan-Ku.”

Dan Ananda kemudian memberitahukan Sang Bhagava apa yang terkandung dalam pikiran-Nya. Sang Bhagava lalu menjawab, “Hampir seluruh dewa dari seluruh lapisan alam sekarang berkumpul di sini untuk melihat Sang Tathagata. Hingga sejauh dua belas yojana di sekitar kebun pohon Sala dari suku Malla ini, Ananda, di sekitar Kusinara, tak ada tempat kosong seujung rambut pun yang tak ditempati oleh para Dewa Agung. Dan para dewa ini mengeluh, “Dari jauh kami datang untuk melihat Sang Tathagata. Karena jarang sekali seorang Tathagata akan memasuki parinibbana. Tetapi bhikkhu ini, yang memiliki kekuatan besar, justru berdiri di depan Sang Bhagava dan menghalangi penglihatan kami, sehingga sekarang, pada saat-saat terakhir kami tak dapat melihat Sang Bhagava!” Demikianlah Ananda, keluhan para dewa tersebut.

“Dewa macam apakah, Bhante, yang dilihat oleh Sang Bhagava?”

Mereka, Ananda, ada yang datang dari alam surga dan ada juga yang dari dunia ini, karena mereka masih cenderung sekali dengan hal-hal keduniawian; mereka menangis dengan rambut kusut dan ada yang menangis dengan mengangkat tangan mereka; dengan berguling-gulingan di tanah, mereka berkata, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki Parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki Parinibbana! Terlalu cepat Sang Guru lenyap dari pandangan kami!”

Tetapi para dewa yang sudah terbebas dari hawa nafsu, merenung dengan pikiran terpusat dan penuh kesadaran, “Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tidak akan terjadi?”

Dahulu, Bhante, setelah habis musim hujan, para bhikkhu meninggalkan tempat tinggal mereka dan datang berduyun-duyun mengunjungi Sang Tathagata. Dan kami merasa satu keberuntungan untuk menerima kedatangan mereka dan memperoleh kesempatan yang baik untuk bergaul dengan para bhikkhu yang terhormat itu, yang datang untuk menerima wejangan dari Sang Bhagava, atau hanya untuk melayani Beliau. Tetapi, Bhante, apabila Sang Bhagava kelak sudah mangkat, maka kami tak lagi akan mendapat keuntungan dan kesempatan seperti yang tersebut di atas.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Empat Tempat untuk Berziarah

Empat tempat, Ananda, yang harus dikunjungi oleh seorang yang berbakti dan dipandang dengan penuh perasaan hormat. Empat tempat manakah itu?

“Tempat di mana Sang Tathagata dilahirkan!” Ini, Ananda, adalah tempat yang harus dikunjungi oleh seorang yang berbakti dan dipandang dengan penuh perasaan hormat.

“Tempat di mana Sang Tathagata memperoleh Penerangan Agung. Penerangan Sempurna yang tak ada bandingannya!” Ini, Ananda, adalah tempat yang harus dikunjungi oleh seorang yang berbakti dan dipandang dengan penuh perasaan hormat.

“Tempat di mana Sang Tathagata untuk pertama kali memutar Roda Dhamma!” Ini, Ananda, adalah tempat yang harus dikunjungi oleh seorang yang berbakti dan dipandang dengan penuh perasaan hormat.

“Tempat di mana Sang Tathagata memasuki Parinibbana dan tidak ada lagi tersisa unsur-unsur kemelekatan!” Ini, Ananda, adalah tempat yang harus dikunjungi oleh seseorang yang berbakti dan dipandang dengan penuh perasaan hormat.

Ananda, itulah empat tempat yang harus dikunjungi oleh seorang yang berbakti dan dipandang dengan penuh perasaan hormat. Dan sesungguhnya, Ananda, empat tempat tersebut akan dikunjungi oleh para bhikkhu, bhikkhuni, upasaka dan upasika yang berbakti. Dan di tempat-tempat itu mereka akan merenung, “Di tempat ini Sang Tathagata dilahirkan!”; “Di tempat ini Sang Tathagata memperoleh Penerangan Agung, Penerangan Sempurna yang tak ada bandingannya!”; “Di tempat ini Sang Tathagata untuk pertama kali memutar Roda Dhamma!”; “Di tempat ini Sang Tathagata memasuki Parinibbana dan tak ada lagi tersisa unsur-unsur kemelekatan!”

Dan, Ananda, siapapun juga yang dalam perjalanan ziarah tersebut meninggal dunia dengan hati penuh keyakinan, maka orang itu setelah badan jasmaninya hancur setelah mati, akan bertumimbal lahir di alam-alam surga yang bahagia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Ananda Berduka Cita

Setelah itu Ananda masuk ke dalam vihara dan bersandar pada tiang pintu, Beliau menangis, “Aku sekarang baru mencapai tingkat Sotapanna, dan masih harus berjuang untuk memperoleh kesempurnaan. Dan sekarang, Sang Guru yang demikian berbelas-kasih terhadap diriku, dalam waktu dekat ini akan mengakhiri hidup-Nya!”

Dan Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu, “Oh, Bhikkhu, di mana kah Ananda?”

Bhante, Ananda pergi masuk ke dalam vihara dan di sana Beliau bersandar pada tiang pintu sambil menangis, “Aku sekarang baru mencapai tingkat Sotapanna, dan masih harus berjuang untuk memperoleh kesempurnaan. Dan sekarang, Sang Guru yang demikian berbelas-kasih terhadap diriku, dalam waktu dekat ini akan mengakhiri hidup-Nya!”

Kemudian Sang Bhagava memerintahkan seorang bhikkhu untuk memanggil Ananda, “Pergilah Bhikkhu dan katakan kepada Ananda, ‘Sahabat Ananda, Anda dipanggil oleh Sang Guru.’”

“Baik, Bhante.”

Dan bhikkhu itu pergi dan mengatakan kepada Ananda, apa yang Sang Bhagava perintahkan. Ananda pergi ke tempat di mana Sang Bhagava sedang berbaring, dan setelah memberi hormat kepada Sang Guru, lalu mengambil tempat duduk di satu sisi.

Kemudian Sang Bhagava mulai memberi wejangan kepada Ananda, “Cukup, Ananda, jangan engkau bersedih hati dan jangan meratap! Bukankah sejak semula Aku telah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang timbul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, ‘Semoga ia tidak akan berubah dan hancur (buyar) kembali!’

Untuk waktu yang lama, Ananda, engkau telah melayani Sang Tathagata dengan penuh kasih sayang, baik dalam perbuatan maupun dalam ucapan dan pikiran, dengan sopan santun, menyenangkan disertai hati yang tulus ikhlas yang tiada bandingannya. Engkau telah menimbun jasa yang sangat besar, Ananda!

Sekarang engkau harus berjuang dengan penuh semangat, dan dalam waktu dekat engkau akan menjadi orang yang terbebas dari semua penderitaan.”
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Pujian kepada Ananda

Kemudian Sang Bhagava bersabda kepada para bhikkhu, “Para Buddha yang telah memperoleh Penerangan Sempurna di zaman yang lampau, oh Bhikkhu, semua mempunyai seorang bhikkhu pelayan yang rajin dan berbakti, sebagaimana juga pada waktu sekarang ini Sang Tathagata mempunyai bhikkhu palayan Ananda. Dan hal yang sama pula akan terjadi dengan para Buddha yang memperoleh Penerangan Sempurna di zaman yang akan datang.

Ananda adalah orang yang pandai dan jujur, oh Bhikkhu, karena ia mengetahui waktu yang tepat bagi para bhikkhu yang ingin bertemu dengan Sang Tathagata; waktu yang tepat bagi para raja dan menteri; waktu yang tepat bagi para guru dan pengikut dari aliran-aliran yang lain.

Dalam diri Ananda, oh Bhikkhu, dapat ditemukan empat sifat yang luar biasa dan jarang dijumpai pada diri orang lain. Apakah empat sifat tersebut? Oh, Bhikkhu, kalau serombongan bhikkhu berkunjung kepada Ananda, mereka akan menjadi gembira dengan melihatnya; dan kalau Ananda berbicara dengan mereka mengenai Dhamma, mereka akan dibuat senang hatinya dengan mendengarkan khotbah dari Ananda; dan apabila Ananda diam saja, mereka akan merasa kecewa sekali. Begitu pula halnya dengan para bhikkhu, upasaka dan upasika yang datang mengunjungi Ananda. Mereka akan gembira melihatnya; mereka akan senang mendengarkan Ananda berkhotbah; dan mereka kecewa apabila Ananda diam saja.

Dalam diri seorang Raja Dunia, oh bhikkhu, terdapat juga empat sifat yang luar biasa dan jarang ditemukan pada diri orang lain. Apakah empat sifat tersebut?

Oh Bhikkhu, kalau serombongan bangsawan berkunjung kepada Raja Dunia, mereka akan menjadi gembira dengan melihatnya; dan kalau Raja Dunia itu diam saja, mereka akan menjadi kecewa sekali. Begitu pun halnya, bilamana rombongan brahmana, para kepala keluarga dan para pertapa datang berkunjung kepada seorang Raja Dunia.

Dan dalam hal yang sama, oh Bhikkhu, dalam diri Ananda pun dapat ditemui empat sifat yang luar biasa yang jarang dijumpai pada diri orang lain.”
------------------------------------------------------------------------------------------------

Kemegahan Kusinara Pada Waktu Lampau

Setelah Sang Bhagava selesai memberikan sabda-Nya, Ananda kemudian mengajukan sebuah usul, “Bhante, hendaknya Sang Bhagava jangan mengakhiri hidup-Nya di tempat yang sederhana ini, sebuah tempat yang sepi di tengah-tengah hutan belantara, sebuah tempat terpencil di luar perbatasan propinsi! Terdapat banyak kota besar, oh Bhante, seperti Champa, Rajagaha, Savatthi, Saketa, Kosambi, dan Benares; Sebaiknya Sang Bhagava mengakhiri hidup-Nya di salah satu kota yang tersebut di atas! Kerena di kota-kota tersebut tinggal banyak para bangsawan, brahmana, dan kepala keluarga, yang berbakti sekali kepada Sang Tathagata, dan mereka pasti akan memberi penghormatan yang sebagaimana mestinya kepada jenazah Sang Tathagata.”

Janganlah engkau berkata demikian, Ananda! Jangan katakan, “’Tempat sederhana ini, sepi dan berada di tengah-tengah hutan belantara, tempat terpencil di luar perbatasan propinsi!’

Pada zaman lampau, Ananda, hidup seorang raja yang bernama Maha Sudassana. Beliau adalah seorang Raja Dunia yang bijaksana, penakluk dari empat penjuru dunia. Negaranya aman dan sentosa dan diberkahi dengan Tujuh Permata. Dan Raja Maha Sudassana, Ananda, memiliki ibu kota yang terletak di tempat ini (Kusinara), yang waktu itu bernama Kusuvati, dan kota ini luasnya dua belas yojana dari Timur ke Barat dan tujuh yojana dari Utara ke Selatan (1 yojana = 16 km).

Dan ibu kota Kusuvati, Ananda, adalah kuat, makmur, dan berpenduduk padat, kerap kali dikunjungi para pedagang dan memiliki bahan makanan yang berlimpah-limpah.

Sebagaimana juga halya dengan Alakamanda, Ananda, yang menjadi ibu kota dari para dewata, kuat, makmur dan berpenduduk padat, kerap kali dikunjungi oleh para dewata dan mempunyai bahan makanan yang berlimpah-limpah, maka begitu pula halnya dengan ibu kota Kusuvati.

Ananda, Kusuvati ramai terus, siang dan malam disertai sepuluh macam bunyi-bunyian, seperti suara gajah, ringkikan kuda, bergemerincingnya kereta perang, suara gendang dan tambur, musik dan nyanyi-nyanyian, pekikan gembira, tepukan tangan dan teriakan-teriakan, ‘Mari makan, minum dan bergembira!’”
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Ratap Tangis Suku Malla

Ananda, sekarang pergilah ke Kusinara dan beritahukan kepada suku Malla, “Hari ini, para Vasettha, pada waktu jaga terakhir malam ini, Sang Tathagata akan memasuki Parinibbana. Datanglah, oh para Vasettha, dan kunjungilah Beliau! Sehingga kelak Anda tidak menyesal dan berpikir, ‘Sang Tathagata memasuki Parinibbana di kota kita, tetapi pada saat-saat terakhir, kita tidak berhasil untuk bertemu dengan Beliau!’”

“Baik, Bhante.” Kemudian Ananda membawa mangkuk dan jubahnya dan bersama seorang bhikkhu lain berjalan menuju Kusinara.

Pada waktu itu para warga suku Malla sedang berkumpul di ruang sidang untuk membicarakan urusan perdagangan. Ananda mendekati mereka dan mengumumkan, “Hari ini, para Vasettha, pada waktu jaga terakhir malam ini, Sang Tathagata akan memasuki Parinibbana. Datanglah, oh para Vasettha, dan kunjungilah Beliau! Sehingga kelak Anda tidak menyesal dan berpikir, ‘Sang Tathagata memasuki Parinibbana di kota kita, tetapi pada saat-saat terakhir, kita tidak berhasil untuk bertemu dengan Beliau!’”

Waktu mereka mendengar pengumuman Ananda, para warga suku Malla dengan anak-anak mereka, istri mereka dan istri anak-anak mereka, menjadi sangat sedih, berduka cita dan bersusah hati; dan ada di antara mereka yang dengan rambut kusut, tangan diangkat ke atas karena putus asa, menangis tersedu-sedu; lalu berguling-gulingan di atas tanah sambil meratap, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki Parinibbana! Terlalu cepat Yang Terberbahagia memasuki Parinibbana! Terlalu cepat Sang Guru lenyap dari pandangan kami!”

Dengan hati yang sedih sekali, para warga suku Malla dengan anak-anak mereka, istri mereka dan istri dari anak-anak mereka, pergi ke kebun pohon Sala, taman hiburan dari suku Malla, di mana pada waktu itu Ananda berada.

Ananda kemudian berpikir, “Jika aku memberi kesempatan pada warga suku Malla dari Kusinara menyampaikan hormatnya kepada Sang Bhagava satu demi satu, mungkin sampai fajar menyingsing pun masih belum selesai. Lebih baik aku membagi-bagi mereka menurut kelompok, tiap keluarga dalam satu kelompok dan mengumumkannya kepada Sang Bhagava sebagai berikut, ‘Keluarga Malla dengan nama ini atau nama itu,’ Oh Bhante, bersama-sama dengan istri dan anak, pelayan dan kawan-kawan memberi hormat kepada Sang Bhagava.’”

Ananda kemudian membagi-bagi para warga suku Malla dalam kelompok-kelompok, tiap keluarga dalam satu kelompok dan kemudian membawa mereka menghadap Sang Bhagava.

Dan dengan cara demikian, Ananda berhasil untuk membawa mereka menghadap Sang Bhagava dalam kelompok-kelompok, tiap keluarga dalam satu kelompok, dalam waktu tidak terlalu lama, sehingga dapat selesai pada waktu jaga pertama malam itu.
------------------------------------------------------------------------------------------------

Pentahbisan Terakhir

Seorang pertapa kelana yang bernama Subhadda, ketika itu berada di Kusinara dan mendengar orang berbicara, “Hari ini, pada waktu jaga ketiga nanti malam, Pertapa Gotama akan memasuki Parinibbana.”

Dan timbul pikiran dalam dirinya, “Aku telah mendengar dari orang-orang tua dan dari para pertapa kelana yang terhormat, guru dari para guru, bahwa sangat langka sekali seorang Tathagata, Arahat, Sammasambuddha, datang ke dunia ini. Dan hari ini, pada waktu jaga terakhir nanti malam, Pertapa Gotama akan memasuki Parinibbana. Kini dalam diriku masih ada keragu-raguan; tetapi dalam hubungan ini aku mempunyai satu keyakinan yang kuat terhadap Pertapa Gotama bahwa Beliau dapat mengajarkan aku ajaran-Nya yang dapat menyingkirkan keragu-raguanku.”

Kemudian pertapa kelana Subhadda pergi menuju kebun pohon Sala, taman hiburan dari suku Malla, dan di tempat itu Subhadda menemui Ananda dan menceritakan keinginannya. Ia berkata kepada Ananda, “Oh sahabat Ananda, aku akan merasa senang sekali apabila aku dapat diperkenankan menghadap Pertapa Gotama!”

Tetapi Ananda menjawab, “Sayang sekali, sahabat Subhadda! Janganlah mengganggu Sang Tathagata. Sang Tathagata sekarang letih sekali.”

Untuk kedua kali dan untuk ketiga kali pertapa Subhadda memohon kepada Ananda, namun untuk kedua kali dan untuk ketiga kali Ananda menolak permohonannya.

Pembicaraan mereka didengar oleh Sang Bhagava. Beliau memanggil Ananda dan berkata, “Tunggu, Ananda! Jangan menolak permohonan Subhadda. Ananda, harap engkau membawa Subhadda menghadap Sang Tathagata.

Karena apa yang ia ingin tanyakan, ia akan tanyakan demi kepentingan pengetahuannya dan bukan untuk mengganggu Aku. Dan jawaban yang akan Aku berikan, dia akan segera dapat mengerti.”

Kemudian pertapa kelana Subhadda mendekati Sang Bhagava dan memberi hormat dengan khidmat. Setelah tukar-menukar ucapan yang menyenangkan dan sesuai dengan sopan santun, pertapa Subhadda kemudian mengambil tempat duduk di satu sisi.

Subhadda kemudian bertanya kepada Sang Bhagava, “Oh Gotama Yang Mulia, banyak pertapa dan brahmana yang menjadi pemimpin dari sekelompok besar murid, yang mempunyai pengikut yang besar, yang menjadi pemimpin dari sekolah-sekolah, termasyhur dan harum namanya, yang mendapat penghormatan tinggi dari masyarakat, guru-guru seperti Purana Kassapa, Mikkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakhuda, Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha Nataputta. Apakah mereka itu semua telah mencapai Pembebasan, seperti apa yang mereka katakan, atau mereka semua belum mencapai Pembebasan; atau mungkin sebagian mencapai Pembebasan dan sebagian lagi belum?”

“Cukup, Subhadda. Biarkanlah apa yang mereka katakan bahwa mereka semua telah mencapai Pembebasan seperti yang mereka percaya telah mencapainya, atau mungkin juga mereka belum mencapai Pembebasan; atau mungkin sebagian sudah dan sebagian lagi belum mencapai Pembebasan. Aku akan mengajarkanmu Kesunyataan, Subhadda; dengar dan perhatikanlah baik-baik, Aku akan bicara.”

“Baik, Yang Mulia.” Dan Sang Bhagava mulai dengan wejangan-Nya :

Raungan Singa

“Dalam ajaran dan tata tertib manapun juga, Subhadda, dimana tak terdapat Delapan Jalan Mulia, maka tak mungkin dapat ditemukan pertapa yang telah mencapai tingkat kesucian pertama (Sotapanna), yang kedua (Sakadagami), yang ketiga (Anagami), dan yang keempat (Arahat).

Tetapi dalam ajaran dan tata tertib manapun juga, dimana terdapat Delapan Jalan Mulia, maka di situ dapat ditemukan pertapa yang telah mencapai tingkat kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Dan dalam ajaran dan tata tertib yang kuajar, terdapat Delapan Jalan Mulia, sehingga hanya dalam ajaran dan tata tertib yang kuajar terdapat pertapa yang telah mencapai tingkat kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Ajaran yang diberikan oleh guru-guru lain tak akan menghasilkan orang-orang suci. Tetapi, jika para bhikkhu hidup dengan bajik, maka sebenarnya dunia ini tidak akan kekurangan Arahat-Arahat!

“Pada usia dua puluh sembilan tahun, Subhadda, Aku telah meninggalkan keduniawian guna mencari Kesunyataan;

Kini lima puluh satu tahun telah lewat, Subhadda, dan sepanjang waktu itu Aku berkelana Dalam Kebajikan dan Kesunyataan.”

Di luar itu tidak akan terdapat orang suci sejati! Sesungguhnya, di luar itu tak akan terdapat orang suci dari tingkat pertama, kedua, ketiga, dan keempat; dan ajaran yang diberikan oleh guru-guru lain tak akan menghasilkan orang-orang suci sejati. Tetapi, jika para bhikkhu hidup dengan bajik, maka sebenarnya dunia ini tidak akan kekurangan Arahat-Arahat!”

Setelah Sang Bhagava selesai mengucapkan wejangan-Nya, Subhadda kemudian berkata, “Indah, Bhante, sungguh indah! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau membawa lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata, ‘Siapa yang punya mata, silakan melihat.’

Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Sang Bhagava. Karena itu, oh Bhante, aku berlindung kepada Sang Buddha, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku diperkenankan memasuki Sangha dan ditahbiskan menjadi bhikkhu!”

“Siapa saja, Subhadda, yang dahulunya pernah mengikuti ajaran dari guru lain, kalau ingin masuk dan ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam ajaran dan tata tertib yang kuajar, terlebih dahulu harus menempuh masa percobaan selama empat bulan. Setelah masa percobaan empat bulan itu berlalu, para Maha Thera akan menerimanya dan memberikan pentahbisan sebagai seorang bhikkhu. Tetapi dalam hal ini Aku dapat melihat perbedaan dalam kesanggupanmu.”

“Jika, Yang Mulia, siapa saja yang dahulunya pernah mengikuti ajaran dari guru lain dan sekarang ingin masuk dan ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam ajaran dan tata tertib yang diajar oleh Yang Mulia, terlebih dahulu harus menempuh masa percobaan selama empat bulan; dan setelah masa percobaan empat bulan itu berlalu, para Maha Thera akan menerimanya dan memberikan pentahbisan sebagai seorang bhikkhu; maka aku pun bersedia untuk menempuh masa percobaan empat bulan tersebut. Setelah masa percobaan empat bulan itu berlalu, semoga para Maha Thera berkenan menerima dan mentahbiskan aku menjadi bhikkhu!”

Tetapi Sang Bhagava memanggil Ananda dan mengatakan, “Meskipun demikian, Ananda, Subhadda saat ini juga dapat diterima masuk dalam Sangha.”

Dan Ananda menjawab, “Baik, Bhante.”

Kemudian pertapa kelana Subhadda berkata kepada Ananda, “Anda sangat beruntung, sahabat Ananda, dan sesungguhnya merupakan satu berkah bahwa Anda telah menerima pentahbisan sebagai seorang siswa langsung dari Sang Guru sendiri.”

Dengan cara demikian pertapa kelana Subhadda ditahbiskan menjadi bhikkhu dan diterima masuk ke dalam Sangha di hadapan Sang Bhagava. Sejak ditahbiskan menjadi bhikkhu, Subhadda selalu menyendiri, mengasingkan diri, rajin dan tekun. Dan dalam waktu tidak terlalu lama, Beliau mencapai tujuan yang menjadi idam-idaman dari mereka yang meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang pertapa, yaitu tujuan yang tertinggi dari penghidupan suci. Beliau telah memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi, sehingga dapat melihat dengan jelas hakekat yang sesungguhnya dari benda-benda. Beliau tahu bahwa, “Tumimbal lahir sudah dimusnahkan, penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak ada sesuatu lagi yang masih tertinggal.”

Dan Subhadda lalu menjadi salah satu di antara para Arahat dan Beliau adalah siswa terakhir yang diterima oleh Sang Bhagava sendiri.
--------------------------------------------------------------------------------------------------

Wejangan Terakhir Dari Sang Bhagava

Kini Sang Bhagava berkata kepada Ananda, “Ada kemungkinan bahwa di antara kalian ada yang berpikir, ‘Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.’ Tetapi, Ananda, hendaknya jangan ada orang yang berpikir seperti itu. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma (Ajaran) dan Vinaya (Tata Tertib), Ananda, itulah kelak yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah tidak ada lagi.”

“Dan, Ananda, sebagaimana sekarang para bhikkhu menegur satu sama lain dengan menggunakan ‘Sahabat’ (Avuso), setelah Aku sudah tidak ada lagi, maka kebiasaan itu harus diubah. Seorang bhikkhu senior, Ananda, boleh memanggil bhikkhu yang lebih muda dengan memanggil namanya, nama keluarganya atau dengan Avuso (sahabat); sedangkan seorang bhikkhu yunior harus memanggil seorang bhikkhu yang lebih senior dengan “Bhante” atau “Ayasma”.

Apabila dikehendaki, Ananda, setelah Aku sudah tidak ada lagi, Sangha dapat menghapus aturan-aturan yang kurang penting (minor rules).”

“Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”

“Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”

“Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”

“Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu, ‘Oh, Bhikkhu, mungkin ada di antara kalian yang masih ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan dan terhadap pelaksanaannya. Engkau boleh mengajukan pertanyaan, oh Bhikkhu. Janganlah di kemudian hari engkau menyesal dengan mempunyai pikiran, ‘Sang Guru ketika itu terasa di tengah-tengah kami, berhadap-hadapan muka dengan kami, meskipun berhadap-hadapan muka, kami lalai untuk bertanya kepada Beliau.’’”

Meskipun ditanya demikian, namun para bhikkhu diam saja. Untuk kedua kali dan untuk ketiga kali para bhikkhu ditanya, para bhikkhu diam saja. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada mereka, "Mungkin karena ingin menghormat kepada Sang Guru, engkau tidak mau mengajukan pertanyaan apa-apa. Baiklah kalian berunding dulu dan kemudian baru mengajukan pertanyaan.” Namun para bhikkhu tetap membisu.

Kemudian Ananda berkata kepada Sang Bhagava, “Sungguh mengherankan, Bhante, sungguh luar biasa! Saya mempunyai keyakinan bahwa di antara para bhikkhu yang hadir di sini, tak ada seorang pun yang masih ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan atau terhadap pelaksanaannya!”

“Karena engkau mempunyai keyakinan, Ananda, sehingga engkau berbicara seperti itu. Namun di sini dapat Aku terangkan, Ananda, bahwa Sang Tathagata memang tahu dengan pasti bahwa tidak ada seorang pun yang merasa ragu-ragu atau bimbang terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, terhadap Sang Jalan dan terhadap pelaksanaannya. Karena, Ananda, di antara lima ratus bhikkhu yang hadir di sini, yang terendah sudah memperoleh tingkat kesucian Sotapanna, sehingga mereka sudah terbebas dan tak dapat jatuh lagi ke alam-alam sengsara, dan terjamin dalam perjalanannya menuju Pembebasan Terakhir.”

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu, “Karena itu, oh Bhikkhu, dengarlah baik-baik nasehat-Ku, ‘Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur dikodratkan akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh (Handa ‘dani bhikkhave amantayamive : Vayadhamma sankhara, appamadena sampadetha)!” ini adalah ucapan terakhir dari Sang Tathagata.
----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sang Bhagava Memasuki Parinibbana

Setelah itu Sang Bhagava memasuki Jhana kesatu. Keluar dari Jhana kesatu, Beliau memasuki Jhana kedua. Keluar dari Jhana kedua, Beliau memasuki Jhana ketiga. Keluar dari Jhana ketiga, Beliau memasuki Jhana keempat. Dan keluar dari Jhana keempat, Beliau memasuki “Ruang Tak Terbatas”. Keluar dari “Ruang Tak Terbatas”, Beliau memasuki “Kesadaran Tak Terbatas”. Keluar dari “Kesadaran Tak Terbatas”, Beliau memasuki keadaan “Kosong”, Beliau memasuki keadaan “Bukan Penyerapan pun bukan Bukan Penyerapan”. Keluar dari keadaan “Bukan Penyerapan pun dan bukan Bukan Penyerapan”, Beliau mencapai keadaan “Penghentian Penyerapan dan Perasaan”.

“Ananda berkata kepada Ayasma Anuruddha, “Bhante, Sang Bhagava sudah mangkat!”

“Belum, Avuso Ananda, Sang Bhagava masih belum mangkat. Beliau sekarang berada dalam keadaan “Penghentian Penyerapan dan Perasaan.”

Kemudian Sang Bhagava bangun dari keadaan “Penghentian Penyerapan dan Perasaan” lalu memasuki keadaan “Bukan Penyerapan pun bukan Bukan Penyerapan”. Keluar dari keadaan “Bukan Penyerapan pun bukan Bukan Penyerapan”, lalu memasuki keadaan “Kosong”. Keluar dari keadaan “Kosong”, Beliau memasuki keadaan “Kesadaran Tak Terbatas”. Keluar dari “Kesadaran Tak Terbatas”, Beliau memasuki “Ruang Tak Terbatas”. Keluar dari “Ruang Tak Terbatas”, Beliau memasuki Jhana keempat. Keluar dari Jhana keempat, Beliau memasuki Jhana ketiga. Keluar dari Jhana ketiga, Beliau memasuki Jhana kedua. Keluar dari Jhana Kedua, Beliau memasuki Jhana kesatu.

Keluar dari Jhana kesatu, Beliau kembali memasuki Jhana kedua. Keluar dari Jhana kedua, Beliau kembali memasuki Jhana ketiga. Keluar dari Jhana ketiga, Beliau memasuki Jhana keempat. Keluar dari Jhana keempat, Sang Bhagava segera mengakhiri hidup-Nya dan memasuki Parinibbana.


dikutip dari : berbagai sumber
---------------------------------- *((((((_/\_))))))*--------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar